Masih tak percaya, aku berada di ruang besar ini. Sebuah aula dengan aneka makanan enak dan tata lampu yang mewah. Tamu-tamu undangan pun mulai berdatangan. Kini, aku adalah ratu sehari.Â
Berdandan dengan gaun putih nan elok, semua mata tertuju padaku. Nyanyian merdu dari para seniman papan atas yang hadir terus bergelora.
Aku tak pernah sebahagia ini. Apalagi, Reno, suami yang baru saja sah menjadi pendampingku, tak henti-hentinya memandangku dengan penuh suka cita. Ia terus mengulas senyumnya yang kulihat semakin lebar.
"Aku bahagia sakali sayang," ujar Reno.
Aku hanya bisa mengangguk. Kubetulkan kembali beberapa pernik yang ada di baju pengantinku. Aku harus tetap tampil cantik. Aku harus tetap menawan. Paling tidak, mereka tak bisa lagi menganggapku remeh.
Anggapan yang sering tertuju padaku. Gadis yang diambil Reno dari pinggir jalanan di kehidupan malam. Gadis yang sedang butuh belas kasihan dari para berandalan yang sungguh menjijikkan.
"Kau cantik. Sangat cantik," Reno terus berbisik dan merayuku. Tak mudah untuk menaklukkan pria berkharisma ini. Tak mudah pula untuk meyakinkan bahwa akulah  berhak atas dirinya.
Alunan lagu-lagu Melayu yang membahana di gedung mewah bertingkat tiga itu membuatku makin berangan indah. Pernikahan yang akan kujalani bersama Reno bisa membawa kebahagiaan. Aib yang seharusnya terbuka lebar kini berangsur terselimuti aura bahagia. Tak boleh ada seorangpun tahu akan apa yang telah kualami.
Tapi tidak dengan Nikita. Sepupu jauh Reno itu begitu benci padaku. Kulihat ia mengupas apel merah ranum dengan muka masam. Kalau kau memang tak suka padaku, seharusnya kau berkaca diri, Niki.Â
Sudahkah perilakumu mencerimkan tabiat keluarga ini? Harusnya kau malu, wanita dari keluarga kaya dan terhormat seperti dirimu bertabiat seperti itu.
Aku masih ingat, betapa kau menolakku habis-habisan saat Reno memperkenalkan diri pada keluargamu. Ketika dia bilang Reno memungutku dari sampah jalanan yang begitu hina bak perempuan demit. Padahal mulut comberanmulah yang benar-benar hina.