Dan malangnya, ketika tak satupun murid bisa tertib, maka sang guru akan mencari cara agar muridnya bisa tenang kembali. Termasuk memukul meja, papan tulis, bahkan memukul murid yang sudah dianggap keterlaluan. Teriakan keras untuk diam pun kerap terdengar. Meski, jika diruntut lebih lanjut tentu semuanya ada sebab dan akibatnya.
Tak hanya dekat di dunia nyata, seringkali kedekatan antara guru milenial dengan para muridnya berlanjut ke dunia maya. Walau tak menjurus kepada hal-hal yang tidak diinginkan, kedekatan tersebut juga bisa menjadi masalah tersendiri di dalam kegiatan pembelajaran.
Bukan rahasia umum, murid-murid sekarang telah memiliki akun jejaring sosial. Dan mereka banyak yang menjadi teman atau mengikuti sang guru. Segala aktivitas sang guru, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah akan menjadi konsumsi publik. Murid-murid akan tahu tindak-tanduk sang guru.
Mereka akan tahu kapan sang guru memili jadwal nge-mall, touring ke luar kota, pergi ke salon, nongkrong di kafe, hingga sederet aktivitas lainnya. Omongan, gunjingan, dan segala hal lain yang mengikuti akan muncul.
Kala dulu saat saya sekolah sang guru benar-benar menjadi sosok misterius dan sangat disegani ketika di kelas, sosok itu perlahan kini milai menyusut. Bergeser menjadi seperti publik figur yang privasinya tak bisa terlindungi lagi.
Kunci itu baru saya buka setelah resign dan tak lagi mengajar. Saya sadar, banyak sekali foto-foto pribadi yang menurut saya "tak pantas" jika diketahui oleh murid-murid saya. Terdengar munafik memang, tapi saya harus melakukannya daripada citra dan kredibilitas saya dipertaruhkan. Apalagi, kalau pada suatu ketika ada murid saya bisa berceloteh, "Wah, Pak Ikrom habis bertengkar dengan pacarnya, ya!"
Sungguh, sesuatu yang sangat tidak pantas disandang sebagai seorang guru. Bagaimanapun, hingga sekarang sosok guru masih dianggap sebagai saint, sosok suci yang jauh dari dosa dan sifat buruk. Meski, namanya saja manusia ya ada saja kelemahannya.
Beberapa kali, sang Kepala Sekolah dalam rapat guru kerap mengingatkan bagi para guru, terutama guru milenial agar tetap menjaga privasi, tata kelakuan, dan media sosial yang dimilikinya dari jangkauan anak-anak. Meski, bukan berarti tak boleh ada kedekatan antara guru dan murid. Yang penting, kedekatan tersebut masih bersifat wajar.
Selain mengenai kedekatan antara guru dan murid, satu hal lagi yang perlu menjadi catatan guru milenial adalah masalah kedisipinan dan cara mengajar. Sebagai milenial, tentu bukan hal yang asing lagi jika mereka tidak terlalu tahan dengan aturan yang mengikat. Saya pun juga mengalaminya.
Jadwal mengajar yang padat dan aneka tugas yang mengiringinya sempat membuat stres. Ditambah, jika jadwal supervisi dari Kepala Sekolah yang akan masuk ke kelas dan melihat saya mengajar telah datang, rasanya hati ingin segera merasakan liburan semester.