Mengerjakan administrasi penilaian Adiwiyata itu bagaikan dikejar rentetan episode sinetron kejar tayang.
Betapa tidak, waktu pengerjaan yang mepet ditambah banyaknya komponen data yang harus dipenuhi, membuat saya dan tim IT Adiwiyata harus bekerja ekstra. Belum lagi, seringkali ada komponen penilaian baru yang belum kami miliki rincian datanya. Kondisi diperparah dengan aneka bukti fisik yang belum terdigitalisasi sehingga segala pekerjaan rasanya menumpuk menjadi satu.
Penilaian adiwiyata sendiri terdiri dari banyak komponen. Komponen utama adalah penilaian dalam bentuk macro excel berupa skor pencapaian sekolah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Komponen selanjutnya adalah bukti fisik berupa anggaran untuk adiwiyata, kurikulum sekolah, ekstrakulikuler, fasilitas sekolah, hingga segala kegiatan yang digalakkan untuk menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
Sayangnya, kegiatan pemenuhan dokumen administrasi Adiwiyata ini seringkali terkendala oleh beberapa hal. Hambatan pertama adalah kurangnya waktu untuk penyiapan dokumen. Waktu pengumpulan yang mepet membuat kami tidak bisa mengambil data dengan baik. Kami tidak bisa mengambil gambar segala macam tanaman di sekolah serta berbagai kegiatan remeh temeh namun penting semisal mencuci tangan dan pemilahan sampah. Kami juga tidak bisa secara optimal mendokumentasikan kegiatan pembelajaran di kelas yang sudah kami lakukan. Karya daur ulang siswa-siswi kami yang sudah dibuat semenarik mungkin menjadi terlewat.
Namun, hambatan sebenarnya bukanlah upaya untuk mengambil gambar dan video tersebut. Hambatan utama kami adalah menyatukan seluruh dokumen di dalam sebuah petunjuk khusus yang telah ditentukan oleh pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH) Tingkat Provinsi. Kami diminta untuk menyatukan segala jenis bukti fisik seluruh komponen yang tertautkan dalam macro excel. Data digital yang sudah kami penuhi harus kami atur sedemikian rupa agar tim juri Adiwiyata mudah untuk membaca file dokumen yang diminta. Ketika memberikan penilaian tentang salah satu komponen, tim juri hanya perlu membuka tautan tersebut tanpa perlu repot-repot mencari file yang diminta. Semakin mudah kami menata file yang kami kumpulkan, maka skor penilaian adiwiyata kami akan semakin tinggi.
Biasanya, kami meminta beliau-beliau untuk mengambil foto dan video kegiatan mengenai siswa-siswi semisal kegiatan pembelajaran lingkungan di kelas. Artinya, kami bisa menghemat waktu dan berbagi tugas. Sambil ibu-ibu guru tersebut melakukan aktivitas mengajar sembari mengambil gambar dan video, kami bisa mengerjakan pemenuhan administrasi lainnya. Jika boleh diperibahasakan, kami menggunakan istilah sambil menyelam minum air.
Tapi sayangnya, rencana tersebut hanyalah teori di atas kertas. Ketika ibu-ibu tersebut berniat memberikan gambar dan video yang mereka dapatkan, masalah runyam kerap kali terjadi. Banyak diantara mereka ada yang tidak membawa kabel data yang menyatu dengan charger smartphone. Jika meminjam kabel data lain, seringkali tidak bisa tersambung dengan mudah. Belum lagi, memori ponsel pintar yang mereka gunakan seakan ingin meledak. Bak gerbong-gerbong kereta komuter Jabodetabek di pagi hari, desakan memori yang terhimpin ruang memori sempit seakan ingin keluar mencari ruang bebas untuk sekedar bernafas. Akibatnya, saat kami menyambungkan ponsel pintar ke perangat komputer, tanda memuat ulang terus saya saksikan.
Pemandangan tragis ini semakin bertambah dengan masuknya virus dari ponsel ke dalam komputer yang kami gunakan untuk membaca data-data dari ponsel ibu-ibu tersebut. Drama Adiwiyata pun semakin mencapai klimaksnya. Kami semakin bingung karena tak ada waktu lagi untuk memasukkan data tersebut dan membuat tautan di dalam macro excel. Akhirnya, kami meminta ibu-ibu tersebut mengosongkan ponsel pintarnya dan kembali mengirimkan data ke komputer kami.Â
Apabila kami meminta mengirimkan gambar dalam aplikasi WA, gambar yang kami dapat menjadi terkompres sehingga mengurangi kualitas gambar yang akan kami kumpulkan ke tim juri. Pilihan terakhir ini sangat kami hindari. Tak hanya itu, kami juga sering kesulitan untuk melakukan transfer data berupa video pembelajaran yang telah dibuat oleh ibu-ibu guru di kelas. Maklum, mereka belum bisa melakukan penyuntingan video sehingga ukuran file video yang mereka hasilkan sangat besar. Alangkah sulitnya kami untuk menerima data dari mereka. Sesulit mengakhiri drama Adiwiyata yang telah berlangsung selama beberapa season ini.
Mengingat sulitnya kami melakukan transfer data dalam penilaian adiwiyata, akhirnya banyak komponen penilaian yang tidak bisa kami penuhi. Lagi-lagi, kami gagal dalam penilaian Adiwiyata dan harus mengulang pada tahun sejaknutnya. Padahal, dua tahun sebelumnya kami juga mengalami kegagalan. Kegagalan ini menjadi pembelajaran bagi kami agar bisa mempersiapkan pemenuhan dokumen Adiwiyata lebih baik lagi. Kami harus mencari solusi penyimpanan yang aman dan praktis untuk melakukan transfer data. Kegiatan terpenting namun belum bisa kami kuasai dengan baik. Â
Akhirnya, kami menemukan solusi tepat untuk mengatasi kegalan transfer data ini. Kami menemukan sebuah perangkat flash drive bernama SanDisk Ultra Dual Drive m3.0. Dinamakan dual drive karena flash drive ini memiliki berbagai keunggulan. Tak hanya bisa dicolokkan pada laptop saja, namun piranti ini bisa dipasangkan langsung ke konektor smartphone. Ibu-ibu guru yang tak membawa kabel data bisa mengirim gambar dan video yang kami minta tanpa harus menghubungkan perangkat smartphone-nya. Probabilitas komputer sekolah untuk terkena virus pun dapat diminimalisir.
Jika USB flash drive biasanya hanya bisa dicolokkan pada laptop, kini SanDisk Ultra Dual Drive m3.0 bisa langsung dipasangkan pada konektor smartphone. Tim hore Adiwiyata bisa lebih bebas untuk mengambil ribuan foto dan merekam video karena bisa langsung menyimpan salinannya ke dual drive ini.Â
Tak hanya itu, memori smartphone pun jadi tidak cepat penuh dan sehingga ponsel jadi lemot. Ketika ibu-ibu guru sudah selesai mengirim gambar dan video yang telah kami minta, mereka bisa mengambil gambar dan video lainnya yang belum bisa kami penuhi. USB 3.0 ini juga berkecepatan tinggi hingga 150 MB/detik.  Dengan kecepatan sebesar itu, kami bisa mentransfer data seperti video pembelajaran berdurasi panjang ke drive dengan lebih cepat dibandingkan dari drive USB 2.0 biasanya. Kerja tim Adiwiyata pun semakin efektif dan efisien.
Bukan itu saja, pemakaian dual drive ini juga mudah. Kami tinggal meminta ibu-ibu guru menancapkan SanDisk Ultra Dual Drive m3.0 ke port micro-USB perangkat smartphone seperti Android mereka yang mendukung USB On-The-Go (OTG). Jika Android belum mendukung USB OTG, maka kami bisa mengunduh berbagai aplikasi pendukung terlebih dahulu semisal USB OTG Helper. Ketika telah terhubung, maka flash drive ini akan segera dikenali. Transfer file bisa dilakukan dari dan ke flash drive dengan memakai aplikasi file manager yang banyak tersedia di Google Play.
Apabila proses transfer data telah paripurna, kami tinggal melakukan "safe remove" melalui notification panel Android. Langkah ini dilakukan agar Ultra Dual USB Drive terlepas dengan aman. Bagaimana dengan penggunaaan pada perangkat PC? Langkahnya pun sama karena piranti ini seperti flash drive standar. Sungguh mudah.
Konektor yang sedang tidak dipakai bisa ditutup dengan cover terintegrasi. Desain flash drive semacam ini membuat kami tim Adiwiyata tak memiliki pilihan lain untuk menganggarkan pembeliannya pada kegiatan Adiwiyata selanjutnya. Tentu, penganggaran ini bertujuan agar bisa membantu kerja kami. SanDisk Ultra Dual Drive m3.0 seakan superhero penyelamat dan solusi penyimpanan dalam drama Adiwiyata yang tak kunjung usai bak sinetron kejar tayang puluhan babak.