Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Antara Kisah Gang Dolly dan Filosofi "Pi'i de Poeng" di Jalan Tunjungan

14 April 2018   19:55 Diperbarui: 15 April 2018   13:17 3311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Siola (Kini Museum dan UPTSA Surabaya) - Dokumentasi Pribadi

Koleksi museum ini semakin lengkap dengan aneka koleksi lainnya seperti radio tua, aneka alat kesehatan, alat transportasi, hingga peralatan memasak yang sering digunakan oleh masyarakat Surabaya pada zaman dahulu.

Dua walikota Surabaya dari PKI. Setelah kemenangan mutlak partai ini di Kota Surabaya pada Pemilu 1955 dan Pemilu Daerah 1957, selama kurun 1958 hingga 1965, PKI menjadi penguasa di kota ini. | Dokumentasi Pribadi
Dua walikota Surabaya dari PKI. Setelah kemenangan mutlak partai ini di Kota Surabaya pada Pemilu 1955 dan Pemilu Daerah 1957, selama kurun 1958 hingga 1965, PKI menjadi penguasa di kota ini. | Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Perlatan dapur yang sering digunakan orang Surabaya zaman dulu | Dokumentasi Pribadi
Perlatan dapur yang sering digunakan orang Surabaya zaman dulu | Dokumentasi Pribadi
Namun, koleksi yang menjadi perhatian saya adalah berbagai lukisan yang menggambarkan kehidupan warga Surabaya. Satu lukisan yang menarik pandangan saya adalah gambaran ketika terjadi penutupan bekas lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, Gang Dolly. 

Bagi sejarah Kota Surabaya, kisah penutupan lokalisasi maha besar ini adalah peritiwa penting meski masih ada praktik-praktik prostitusi terselubung yang mengiringinya. Lokalisasi yang bisa dikatakan sebagai aib bagi kota ini akhirnya tutup pada pertengahan 2014 lalu.

Lukisan tentang penolakan penutupan Gang Dolly | Dokumentasi Pribadi
Lukisan tentang penolakan penutupan Gang Dolly | Dokumentasi Pribadi
Tak hanya koleksi lukisan Gang Dolly, lukisan lain yang menggambarkan karakter orang Surabaya yang egaliter dan blak-blakan menjadi magnet tersendiri dari museum ini. Lukisan-lukisan yang biasanya tampak pada mural ini menyiratkan sebuah kebanggaan sebagai warga Surabaya meski sering banyak stigma negatif di dalamnya. Apalagi, kalau bukan cap kasar dan tidak njawani. Stigma yang hampir serupa tersemat bagi saya sebagai orang Malang yang sama-sama merupakan kawasan Arek.

Saya menemukan sebuah pesan tersirat dari kalimat "Pi'i de Poeng". Kalimat ini bisa diartikan dengan "I Don't care" dan "sebodo teuing" yang biasanya diucapkan orang-orang dari kawasan Arek ketika harus sering berhadapan dengan sesuatu yang disebut "basa-basi" dan "pencitraan". 

Apapun perkataan orang, yang penting aku sudah berusaha berbuat baik dan berusaha semaksimal mungkin dengan pembawaan yang sudah ada. Pesan ini pula yang coba dihadirkan dalam lukisan lokalisasi gang Dolly yang menyiratkan sejelek apapun stigma bagi mereka dan juga Kota Surabaya yang pasti "the show must go on". Kehidupan harus berjalan terus. 

Sungguh, saya salut dengan pesan ini yang sayangnya tak banyak orang yang mau melirik lukisan tersebut.

Ketika ada stigma buruk tentang diri kita, segera introspeksi. Perbaiki dan berusaha untuk lebih baik lagi dan tak terus berpikir tentang omongan tersebut | Dokumentasi Pribadi
Ketika ada stigma buruk tentang diri kita, segera introspeksi. Perbaiki dan berusaha untuk lebih baik lagi dan tak terus berpikir tentang omongan tersebut | Dokumentasi Pribadi
Kekaguman saya semakin paripurna ketika menuju lantai 2 setelah menaiki ekskalator. Di lantai ini, terdapat taman gantung yang menghubungkan dua sisi Jalan Tunjungan. 

Bukan pembangunannya yang membuat saya ternganga, namun upaya Bu Risma dan segenap warga Surabaya untuk tetap menjaga kebersihan tempat ini. Tentu, pembangunan mental jauh lebih sulit dibandingkan dengan pembangunan fisik. Selepas memberikan suntikan moral dari filosofi "Pi'i de Poeng", segenap pemerintah Kota Surabaya dan warga mulai menyalurkan semangat tersebut dalam tindakan nyata. 

Bukan penjelasan kata-kata untuk membuat sebuah pencitraan hebat sehingga stigma negatif tersebut hilang namun hanya tindakan nyatalah yang bisa menjawab stigma buruk tersebut. Artinya, warga Surabaya mulai belajar ketika ada omongan negatif atau hal buruk datang kepada mereka, bukan ucapan atau klarifikasi yang harus dilakukan. 

Tindakan nyata, prestasi, dan dedikasi yang sungguh-sungguh yang akan membuktikan bahwa stigma negatif itu tidaklah benar. Jalan Tunjungan, Siola dengan UPTSA-nya, dan cerita Gang Dolly adalah sebuah pencapaian dari filosofi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun