Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Antara Kisah Gang Dolly dan Filosofi "Pi'i de Poeng" di Jalan Tunjungan

14 April 2018   19:55 Diperbarui: 15 April 2018   13:17 3311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perlatan dapur yang sering digunakan orang Surabaya zaman dulu | Dokumentasi Pribadi

Setiap kota besar pasti memiliki jalan utama yang menjadi ikon masing-masing.

Jogja dengan Malioboronya. Bandung dengan Dagonya. Dan Surabaya tak kalah dengan Tunjungannya. Jalan yang membentang di tengah kota Surabaya ini memang menjadi ikon yang tersemat pada kota pahlawan ini. Aneka kisah sejarah juga terekam di jalan yang kini menjadi daerah emas bagi ekonomi Surabaya.

Tak melulu soal ikon dan jejak sejarah, kini Jalan Tunjungan menjadi bukti bagi peradaban tinggi masyarakat Surabaya. Adalah sang Wali Kota, Tri Rismaharini yang menyulap jalan ini semakin elok dan layak untuk dikunjungi. 

Tagline wisata Sparkling Surabaya yang berarti spirit kota ini seperti percikan kembang api bukanlah hanya slogan semata. Jalan Tunjungan menjadi salah satu sumber percikan tersebut yang tak hanya bersinar namun terpancar dan berkobar sebesar kobaran api semangat Arek-arek Suroboyo pada pertempuran 10 November 1945. Semangat ini tak luntur meski dalam situasi apapun termasuk ketika malam menjelang.

Di suatu penghujung pekan, saya berkesempatan mengunjungi kota ini untuk kesekian kalinya. Sedikit waktu luang setelah menghadiri expo wisata dan berburu tiket murah, saya memutuskan ingin melihat jalan ini setelah direstorasi pada malam hari. Sebelumnya, saya pernah merasakan sisa keguyuban orang Surabaya saat pagi hari di jalan ini.

Bermula dari Jalan Genteng Kali, saya disambut gemerlap lampu dari Gedung Siola. Ternyata, gedung ini masih menyimpan tanda-tanda kehidupan. Pandangan saya tertuju pada jejeran benda kono yang ditata rapi sehingga tampak apik dari luar. Saya lantas heran mengapa museum ini belum tutup. Sebelumnya, saya memang mendapat informasi bahwa Gedung Siola kini beralih fungsi sebagai museum. Namun, saya tak menyangka jika jam operasional museum ini hingga malam hari.

Bagian sisi kanan Gedung Siola | Dokumentasi Pribadi
Bagian sisi kanan Gedung Siola | Dokumentasi Pribadi
Kekagetan saya bertambah ketika masih banyak aktivitas di dalam gedung tersebut. Rupanya, selain sebagai museum, gedung ini juga difungsikan sebagai UPTSA (Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap) Kota Surabaya. Aneka kegiatan administrasi seperti perekaman data e-KTP hingga pembuatan SKCK ada di sini. Tak hanya itu, ada pula tempat semacam layanan psikologi anak terutama untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Beberapa kali saya berpapasan dengan pasangan orang tua yang membawa putra-putrinya seumuran SD untuk mendapat layanan dari pihak yang berkompeten. 

Rasa takjub saya semakin besar melihat kenyataan tersebut. Saya lalu membandingkan dengan kota asal saya, Malang. Meski memiliki layanan serupa, tapi cukup sulit dijangkau oleh masyarakat. Belum lagi, seringkali orang tua yang tak sempat betatap muka ketika siang hari dengan sang psikolog. Melalui layanan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), warga Surabaya bisa berkonsultasi seputar anak dan masalah keluarga.

Beberapa sudut kantor UPTSA yang sudah sepi meski masih ada beberapa aktivitas di dalamnya | Dokumentasi Pribadi
Beberapa sudut kantor UPTSA yang sudah sepi meski masih ada beberapa aktivitas di dalamnya | Dokumentasi Pribadi
Setelah melihat-lihat kantor pelayanan terpadu, langkah kaki saya lantas menuju ruangan koleksi benda-benda bersejarah. Sebenarnya, ruangan ini tak terlalu luas. Namun, saya puas dengan penataannya yang memilah aneka jenis benda peninggalan bersejarah berdasarkan fungsi dan kegunaannya.

Koleksi pertama yang saya lihat adalah segala hal tentang Wali Kota Surabaya dari masa Hindia Belanda, pendudukan Jepang, hingga sekarang. Nah, tentu jika membicarakan para Wali Kota Surabaya, banyak kisah unik di dalamnya. 

Salah satunya adalah foto dan profil dua Wali Kota Surabaya yang berasal dari PKI, R. Satrio Sastrodiredjo dan Moerachman. Foto keduanya juga tampak menghiasi ruangan depan museum ini. 

Bagaimana pun, mereka adalah bagian dari sejarah dari kota ini dan menjadi saksi pergulatan politik di dalamnya. Bagian dari sejarah kota ini juga termasuk dua musisi yang melegenda bagi bangsa Indonesia, yakni Gombloh dan WR Soepratman. Tentu, kisah kedua musisi ini bisa menjadi kisah sejarah manis bagi Surabaya. Piano dan biola yang mereka gunakan untuk berkarya juga tersimpan di sini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun