Mohon tunggu...
Ikmal Trianto
Ikmal Trianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Setengah mahasiswa setengah pekerja

Tukang nulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pilihan Kata dan Perspektifnya

14 September 2022   18:33 Diperbarui: 14 September 2022   18:38 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: iStock Image

Sisi relativitas akan selalu kita temukan dalam segala aspek yang kita jalani pada setiap rutinitas kita. Cantik dan tidak cantik, baik dan buruk, nyaman dan meresahkan serta banyak hal lainnya. 

Sekilas kita melihat bahwa hidup bukanlah kesempurnaan. Setidaknya bagi yang mempercayai itu. Meskipun begitu, ada pula yang mengagungkan kesempurnaan dalam hidupnya dan kesempurnaan tersebut adalah suatu target. Pun halnya seperti tujuan hidup, semua pasti sepakat bahwa "kebahagiaan" merupakan hal yang ingin dicapai dalam hidup semua orang. Tetapi sebetulnya banyak juga yang menggunakan istilah "kesenangan". 

Mencari kesenangan adalah pencapaian lain dari kebahagiaan. Meskipun berbanding lurus dengan kebahagiaan, kesenangan dimaknai sebagai bagian dari kebahagiaan.

Ketika kita memaknai, hidup adalah tentang permainan kata. Penggunaan kata yang kita pilih akan sangat bergantung pada bagaimana kita menilai sesuatu dan menentukkan jalan hidup kita sendiri. 

Kalian boleh tidak percaya! Tetapi coba kita renungkan kembali. Bukankah jalan hidup manusia itu tergantung pada simpulan yang dimaknai oleh perspektifnya sendiri? Masih ingatkah dengan filosofi "law of attraction"? Dalam konsep tersebut semesta bekerja sesuai dengan pikiran dan perasaan kita. Jika kita berpikir tidak mungkin, maka tidak akan terjadi, begitupun sebaliknya.

Mari kita perjelas dalam sebuah analogi. Suatu hari seorang ibu meminta anaknya yang masih kecil untuk tidak terus-terusan bermain gadget-nya. Si ibu mempunyai pilihan menggunakan kalimat-kalimat tertentu untuk meminta agar anaknya berhenti. 

Anggap saja si ibu berada diantara dua pilihan. Pilihan pertama si ibu bisa menggunakan kalimat seperti "Nak, sudah ya main hp-nya. Itu ga baik loh buat kesehatan kamu." Kalimat pertama terkesan dibawakan dengan tuturan yang lemah lembut dan edukatif. Atau si ibu dapat menggunakan pilihan kalimat kedua "Main hp terus, nanti matanya rusak loh!" kecenderungan kalimat kedua dibawakan dengan nada yang sedikit meninggi. 

Kedua kalimat itu jika kita telaah tergolong sama baiknya, mengarah pada upaya preventif terhadap kesehatan si anak. Tetapi, si anak tentu akan memberikan respons yang berlainan terhadap kedua pilihan kalimat yang digunakan. Tidak percaya? Silahkan bisa dicoba, untuk menguji hipotesanya.

Dalam analogi lainnya, dengan peran tetap sebagai orang tua, karena contoh tersebut yang paling banyak dan mudah untuk disebutkan. Misalnya anak kita memecahkan piring atau gelas. 

Sangat mudah emosi kita akan terpancing dan menyalahkan kecerobohan anak kita itu. Pada kesempatan itu kitapun akan kembali pada dua pilihan, antara kita memarahi anak dan mengakatan yang tidak kita kira lalu menghukumnya atau memberikan respons lain, seperti menanyai anak apakah ia baik saja dan memberitahunya untuk berhati-hati di lain kali.

Untuk menyikapi ketika diantara pilihan yang memaksa kita untuk memberi respons yang cepat dengan pikiran yang tenang dan bijaksana, tentu membutuhkan intensitas waktu yang lumayan, meskipun bukan dalam arti kita terus menghadapi hal-hal serupa berulang kali. 

Walaupun itu tidak menjamin kita akan berubah, karena marah adalah sesuatu yang bersifat naluriah dan sangat manusiawi. Tetapi, ada hal yang dapat kita atur adalah tentang bagaimana kita mengendaasdlikan pikiran serta sikap kita terhadap kejadian-kejadian di sekitar kita. Terdapat hukum akan berlaku sesuai tindakan yang kita lakukan. Ingatkah pada pepatah mulutmu harimaumu atau lidah itu lebih tajam dibandingkan pedang? 

Apa yang menjadi output adalah kata-kata yang kita keluarkan. Kata-kata yang digunakan dianggap sebagai cerminan diri. Sementara itu outcome-nya adalah respons atau akibat yang berdampak pada orang lain dan mungkin bisa jadi berdampak juga terhadap diri kita sendiri dari apa-apa yang telah kita ucapkan. Apa yang kita ucapkan menunjukkan jati diri kita, termasuk pada penggunaan kata yang kita pilih.

Hari-hari yang kita telah kita lalui adalah pelajaran-pelajaran yang berarti. Begitupun dengan hari esok dan seterusnya sampai hari kita telah berhenti adalah waktu yang semestinya kita jadikan tempat pembelajar mencapai kebahagiaan sebagai manusia yang hakiki. Meskipun timbul pertanyaan manusia yang seperti apa yang semestinya kita wujudkan? 

Menjadi dewasa adalah proses kita mengenali diri dan mampu menilai konsep benar dan salah. Buah pemikiran kita adalah cara bagaimana kita memahami situasi. Namun, sebelum menjadi output dengan sebab-akibat yang ada, input sebagai kuasa utama perlu menjadi perhatian. Sebab, itu akan memberi pemahaman pada tindakan kita, termasuk pada pemilihan respons.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun