Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Dengan Membaca Kamu Mengenal Dunia, Dengan Menulis Kamu Dikenal Dunia"*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mereguk Inspirasi Menulis dari Lima Konten Terbaik di Kompasiana

20 Januari 2018   23:17 Diperbarui: 20 Januari 2018   23:26 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.hipwee.com

Memperhatikan dan mengingat-ingat adalah konsep atau tahap yang paling mudah, semua orang bisa melakukannya. Lalu bagaimana dengan meniru? Dalam menulis saya pikir meniru tidak harus malu, karena meniru di sini bukan berarti nyiplak atau plagiat kata demi kata atau kalimat demi kalimat. Yang kita tiru adalah pola pikirnya, cara sang penulis memulai tulisan, memilih kata dan menyusunnya menjadi kalimat. Kemudian bagaimana sang penulis menguraikan isi, membeberkan masalah, merakit paragraf, hingga cara mengembangkan gagasan dan mengakhiri tulisanya. Hal-hal itulah yang perlu kita tiru.

Seperti  keterampilan berbicara yang kita peroleh sedari kecil melalui mendengar, menyimak dan menirukan. Proses penguasaan keterampilan menulis sama saja dengan keterampilan berbicara. Hanya bedanya menulis itu perlu membaca. Makin sering membaca, maka makin sering menirukan yang dibaca itu. Lambat laun keterampilan menulis akan segera dikuasai.

Kompasianer Nahariyha Dewiwiddie dalam artikelnya sempat bercoloteh, "Pengen nulis tapi malas baca, apa kalian bisa? Itu mustahil!"

Kemudian ada satu tahap lagi yakni Nambahi. Bukankah kita sebagai penulis memang harus punya "simpanan bahan" untuk ditambahkan? Betapa tidak, dalam menulis kita mengeluarkan gagasan dan simpanan dalam otak kita. Ibaratnya menabung, kita punya simpanan jika kita menabung. Jadi  makin banyak simpanan, makin mudah atau lancar kita nambahi dan menuangkan gagasan secara tertulis.

Simpanan di sini adalah berupa pengalaman, hasil pengamatan, pendapat atau opini, eksperimen dan daya khayal atau imajinasi. Lho kok ada eksperimen dan imajinasi? Saya pikir kedua-nya itu penting, karena akan membuat wawasan seseorang menjadi lebih luas.

Sebagaimana pandangan dari mbak Nahariyha Dewiwiddie dalam artikelnya yang berjudul ''Dengan Menulis, Kita Bisa Meniru Layaknya Ilmuwan Kok!"Dia beranggapan bahwa dalam menuliskan artikel, tak cukup bermodalkan riset dan membaca beragam referensi semata, namun harus ada "eksperimen". Menurutnya "kegiatan eksperimen menulis dapat menguatkan topik dan isi tulisan, karena ada sisi pengalamannya, sehingga pembaca dapat merasakan apa yang dialami penulisnya secara langsung. Dengan kata lain, kegiatan bereksperimen itu bisa menciptakan pengalaman baru bagi si pelakunya".

Kemudian terkait imajinasi, mbak Nahariyha ini juga dalam tulisannnya yang berjudul "Ketika Membaca, Menulis dan Berfikir Saling Bersinergi". berhasil menguraikan bagaimana imajinasi berperan penting dalam menghadirkan sebuah tulisan yang berkualitas dan menarik.

Pada paragraf 9 dan 10, penulis menjelaskan bahwa imajinasi itu tak hanya berlaku di dunia fiksi. Pada penikmat buku non-fiksi juga akan mendapatkan sensasi yang sama. Intinya, pada saat membaca, pikiran harus akan mengembara, menciptakan khayalan, dan diwujudkan serupa dengan "film sungguhan" di otak!

Sang penulis sudah membuktikannya dengan mengambil buku, lalu menyimaknya secara perlahan-lahan. Kemudian ia mencerna kata demi kata, yang lama-kelamaan akan muncul imajinasi berwujud film di benak atau di otak, yang membuatnya mengerti dan bertambah paham terhadap apa yang dipelajari.

Barangkali ada yang bertanya, apakah menulis itu ada hubungannya dengan bakat atau bawaan? Terkait penjelasan-penjelasan di atas, jawabannya tentu tidak. Karena menulis itu adalah sebuah proses yang harus dilalui secara bertahap. Dan kita dituntut untuk banyak melihat, mengamati, membaca, berdiskusi, berfikir dan berimajinasi secara terus menerus, hingga menjadi sebuah kebiasaan dan budaya.

Saya pun sudah mengalami sendiri dengan menerapkan konsep 3 N di atas. Padahal sebelumnya, saya merasa sulit sekali menulis, beberapa kali mencoba selalu tidak lancar bahkan gagal total. Namun saya punya prinsip, lupakan dan belajar dari kegagalan, sehingga saya tidak mudah putus asa. Lalu saya terus, terus belajar dan mencoba-coba lagi. Makin lama makin mudah dan lancar, hingga menjadi seperti sekarang sampai berhasil memenangkan berbagai lomba menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun