Di tengah gegap gempita reformasi peradilan, Indonesia justru digegerkan oleh ironi paling getir: empat hakim, yang sejatinya adalah simbol keadilan, terseret kasus suap dalam pengaturan vonis perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Nama-nama seperti Muhammad Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarief Baharuddin, dan Ali Muhtarom kini bukan lagi disanjung karena kebijaksanaan, tetapi dicatat dalam sejarah kelam lembaga kehakiman.
Kasus ini menambah daftar panjang tragedi moral di pengadilan, menyusul kasus-kasus sebelumnya seperti skandal suap yang melibatkan hakim agung Sudrajad Dimyati dan drama peradilan dalam perkara korupsi tambang timah serta gratifikasi Ronald Tanur. Ironisnya, semua itu terjadi di saat negara baru saja menaikkan gaji hakim secara signifikan.
Pada Oktober 2024, lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024, pemerintahan Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menaikkan gaji hakim sebagai respons atas aksi mogok kerja nasional oleh para hakim yang memprotes rendahnya kesejahteraan dan minimnya jaminan keamanan dalam tugas mereka.
Namun, realisasi dari kebijakan itu baru diumumkan secara resmi oleh Presiden Prabowo Subianto pada 12 Juni 2025. Dalam pidatonya di JCC Senayan, Prabowo menyatakan komitmennya, "Saya penuhi janji. Gaji hakim kita yang paling junior naiknya itu di atas 200 persen, mendekati 280 persen."
Kenaikan fantastis ini membuat publik bertanya-tanya: benarkah dengan gaji yang besar, hakim akan kebal dari godaan suap?
Untuk menjawab itu, mari kita tengok dulu angka-angka yang beredar. Sebelum kenaikan, gaji pokok hakim junior berkisar antara Rp6,1 juta hingga Rp9,6 juta per bulan, tergantung tingkat dan masa kerja.
Dengan kenaikan hingga 280 persen, gaji pokok mereka bisa melonjak menjadi sekitar Rp17 juta hingga Rp27 juta. Ini belum termasuk tunjangan struktural, jabatan, dan risiko, yang bisa menambah total penghasilan menjadi sekitar Rp40 juta sampai Rp70 juta per bulan, bahkan lebih untuk hakim senior. Sebuah angka yang, secara teori, cukup menjamin kehidupan layak dan bermartabat.
Namun realitas berbicara lain. Fakta bahwa korupsi masih saja menyusupi ruang sidang menunjukkan bahwa uang, meskipun penting, bukan satu-satunya jawaban.
Anggota Komisi III DPR, Hasbiallah Ilyas, menegaskan bahwa peningkatan gaji harus menjadi pendorong integritas, bukan sekadar kompensasi.