"Orangnya kok kayak nggak nyambung, ya?"
"Padahal CV-nya oke banget, loh."
"HRD sih yang pilih, bukan aku!"
Kalimat-kalimat semacam ini sering terlontar di ruang-ruang kerja setelah satu-dua minggu seorang karyawan baru bergabung. Rekrutmen yang awalnya penuh harapan justru menimbulkan kebingungan. Lalu pertanyaan pun muncul: siapa sebenarnya yang paling tahu kebutuhan tim? HRD atau user?
Dalam dunia kerja yang kian dinamis, proses rekrutmen tak lagi sekadar menambal kekosongan posisi. Lebih dari itu, proses ini menyangkut masa depan tim, efektivitas kerja, dan bahkan kultur organisasi.
Tapi sayangnya, sering kali terjadi tarik-menarik antara dua pihak yang semestinya bisa saling melengkapi: HRD dan user. Perseteruan diam-diam ini, jika dibiarkan, justru bisa merugikan perusahaan secara jangka panjang.
Dalam skenario ideal, HRD dan user bekerja seirama. Namun pada kenyataannya, masing-masing memiliki kepentingan, tekanan, dan persepsi berbeda.
HRD atau Human Resource Development bertugas menyaring kandidat sesuai standar perusahaan dan memastikan semua proses sesuai hukum dan etika.
Sementara user---biasanya pimpinan divisi atau manajer langsung---memiliki kebutuhan spesifik terkait karakter dan kompetensi calon anggota tim.
HRD vs user bukan sekadar pertarungan ego, melainkan dinamika kompleks yang bisa menyebabkan kesalahan serius dalam rekrutmen.
Contoh pertama: HRD salah merekrut karena tidak memahami kebutuhan tim secara rinci. Misalnya, memilih kandidat yang kuat di teori tapi lemah dalam komunikasi, padahal posisi yang dibutuhkan membutuhkan interaksi intens dengan klien.
Di sisi lain, user pun bisa salah ketika tidak memiliki definisi yang jelas terhadap kebutuhan tim. Terlalu terburu-buru meminta HRD "isi posisi ini secepatnya" tanpa menyusun job description yang matang.