Memiliki rumah sendiri---lengkap dengan pekarangan mungil, pagar minimalis, dan tanaman monstera di teras---barangkali masih menjadi impian klasik sebagian besar generasi milenial.
Namun, seiring waktu, impian memiliki rumah seperti itu mulai terasa tak ubahnya seperti adegan romantis dalam sinetron: indah, tapi tidak nyata.
Generasi milenial, yang lahir antara tahun 1980 hingga 2000, kini menghadapi realitas yang lebih keras dari yang dibayangkan.
Di satu sisi, mereka dibesarkan dengan harapan akan kehidupan yang stabil: pendidikan tinggi, pekerjaan tetap, rumah pribadi, dan tabungan pensiun. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan kondisi ekonomi yang timpang, harga properti yang melonjak drastis, dan daya beli yang stagnan.
Tak heran bila banyak dari mereka mulai merasa bahwa memiliki rumah hanyalah mitos, bukan pencapaian nyata.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah generasi milenial di Indonesia mencapai 64 juta jiwa. Dari angka tersebut, hampir setengahnya bekerja di sektor informal.
Sementara itu, laporan lain menyebutkan bahwa sekitar 43% dari mereka hanya lulusan SMA, dengan rata-rata penghasilan sebesar Rp2,1 juta per bulan.
Bandingkan dengan estimasi kebutuhan penghasilan minimal sebesar Rp8,7 juta per bulan untuk bisa mencicil rumah seharga Rp300 juta. Jelas, jurangnya terlampau jauh.
Bagi milenial yang tinggal di perkotaan, situasi ini bahkan lebih memprihatinkan. Harga tanah dan rumah di kota besar seperti Jakarta, Tangerang, dan Bekasi terus melambung tanpa jeda.
Sebuah rumah sederhana di kawasan pinggiran Jakarta dengan luas bangunan tak lebih dari 60 meter persegi kini bisa dibanderol lebih dari Rp1 miliar.