Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru di Depan, Komite di Samping, Orang Tua di Belakang

23 Mei 2025   17:31 Diperbarui: 23 Mei 2025   17:31 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana rapat komite sekolah (dok. pribadi)

Bayangkan sebuah panggung teater pendidikan. Di sana, guru berdiri gagah di depan layar, memegang mikrofon dan naskah kurikulum.

Di sampingnya, komite sekolah sibuk mengatur lampu, memastikan panggung tidak goyang, dan sesekali menyodorkan air mineral saat suara guru mulai serak.

Sementara di belakang, orang tua duduk di kursi penonton, sesekali berteriak, "Tolong volume mik-nya dinaikkan! Anak saya di belakang tidak dengar!" atau berbisik, "Wah, dekorasinya kurang warna, nih."

Inilah gambaran sederhana tentang bagaimana tiga pilar pendidikan---guru, komite, dan orang tua---seharusnya berkolaborasi: saling melengkapi, bukan saling menyalahkan. 

Guru, sebagai aktor utama, memikul tugas mulia sekaligus berat. Mereka bukan hanya mengajarkan matematika atau sejarah, tapi juga menjadi "pemahat karakter" yang membentuk anak didik menjadi manusia berintegritas.

Sayangnya, di lapangan, banyak guru yang merasa seperti one man show. Mereka harus mengajar 40 murid dengan latar belakang berbeda, menyiapkan bahan ajar kreatif, sekaligus jadi psikolog dadakan saat menghadapi siswa yang mogok belajar.

Padahal, menurut Permendikbud No. 15/2018, beban kerja guru idealnya 24-40 jam per minggu. Tapi di banyak sekolah, angka itu hanya mitos belaka. Guru kerap terjebak dalam overtime tanpa tambahan insentif---mirip karyawan yang diharapkan bekerja 24 jam tapi dibayar layaknya part-time. 

Di sinilah komite sekolah seharusnya muncul sebagai "kru panggung" yang sigap. Idealnya, mereka membantu guru dengan menyediakan sarana prasarana, mengawasi kebijakan sekolah, atau mencari sponsor untuk proyek inovasi.

Misalnya, ketika laboratorium komputer sekolah lebih mirip gudang usang, komite bisa menggalang dana lewat kerja sama dengan perusahaan teknologi. Atau saat guru kewalahan menghadapi siswa berkebutuhan khusus, komite bisa mendatangkan psikolog untuk pelatihan inklusi.

Sayangnya, di banyak tempat, komite justru jadi "tukang stempel" yang hanya aktif saat ada rapat pengumpulan dana. Alih-alih mendukung, mereka malah jadi beban tambahan dengan daftar permintaan yang tak realistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun