Dua murid SDN 4 Wonorejo, Jawa Tengah, Rabu lalu keracunan setelah menyantap makanan dari program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Kasus ini bukan pertama kali.
Ratusan siswa di Cianjur, Bandung, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami nasib serupa. Yang lebih ironis: program yang digadang-gadang sebagai solusi malnutrisi ini justru menjadi ancaman kesehatan.Â
Michelle, bocah SD di NTT yang dengan polos mengeluh, "Makanannya hambar dan basi." Setelah itu, perutnya mules.
Atau guru di Bandung yang nekat mencicipi makanan sebelum murid-muridnya, hanya untuk berakhir diare.
Belum lagi kisah siswa Jakarta yang trauma hingga menolak makan MBG selamanya. Di balik klaim pemerintah tentang "gizi optimal" dan "pemerataan akses makanan", realitanya, telur busuk, keterlambatan pengiriman, dan menu tak layak jadi menu sehari-hari.Â
Tapi, mari jujur. Kita semua pasti setuju: ide MBG mulanya brilian. Di negara dengan angka stunting 21,6% (SSGI 2023), program ini seharusnya jadi penyelamat.
Namun, seperti martabak yang gagal karena adonannya salah, MBG kini lebih mirip proyek rush hour: dikejar target ekonomi, tapi mengabaikan kualitas.Â
Awalnya, MBG dirancang untuk memutus lingkaran malnutrisi dan meningkatkan konsentrasi belajar.
Tapi lihatlah sekarang: dalam konferensi pers Maret lalu, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dengan bangga menyebut MBG bakal menciptakan 2 juta lapangan kerja dan menekan kemiskinan dari 9% ke 5%.
Anggaran Rp171 triliun dikucurkan. Wow, fantastis! Tapi, di mana kabar tentang kualitas telur yang tidak busuk? Atau jaminan makanan sampai tepat waktu tanpa melibatkan TNI yang "mengintimidasi psikologis" anak?Â