Seorang Gen-Z diwawancara daring via zoom, wajahnya sumringah di depan layar dengan latar belakang virtual pantai nan eksotis.
Usai diminta memperkenalkan diri, HRD kemudian meminta si Gen Z untuk menceritakan background si remaja putri ini.
"Background saya ada perpustakaan, pemandangan dan pantai. Ini favorit..." jelasnya penuh percaya diri.
HRD pun mengernyit, "Eh, maksud saya background pekerjaan, pendidikan ...," potong HRD.
"Untuk background pendidikan untuk saat ini belum ada pak. Yang ada hanya ini", ujarnya sambil mengganti background zoomnya dengan foto gedung kampus luar negeri.
Adegan ini bukan sekadar lelucon di Tik Tok, tapi potret nyata culture shock antara Gen Z dan dunia rekrutmen konvensional.Â
Nah, kenapa terjadi hal ini? Bukan, bukan karena Gen Z kurang pintar. Justru sebaliknya, mereka terlalu literal dan kreatif dalam menafsirkan pertanyaan.
Riset LinkedIn mengungkap fakta mengejutkan: 1 dari 4 Gen Z di Amerika Serikat bahkan membawa orangtua saat interview kerja.
Bukan karena mereka manja, tapi karena interview tradisional telah menjadi momok yang menakutkan bagi generasi yang terbiasa dengan kecepatan dan kreativitas teknologi.
Coba kita renungkan sejenak. Apa hubungannya kemampuan menjawab pertanyaan klise "ceritakan kelebihan dan kekuranganmu" dengan skill coding atau desain yang dimiliki Gen Z? Bagaimana jika perusahaan kehilangan kandidat terbaik hanya karena mereka tidak pandai "jual diri" di depan HRD?