Dini hari di Pasar Inpres, Palu Barat, suara gerobak kayu berderak-derak mengantar sayuran segar ke kios-kios. Di antara tumpukan cabai dan bawang, Bu Tina, pedagang sayur 45 tahun, menatap langit yang masih kelam.
"Dulu, sebelum matahari terbit, dagangan saya sudah ludes. Sekarang, sampai sore pun masih banyak sisa. Orang-orang pikir dua kali sebelum beli," ujarnya, sambil mengusap keringat yang mengalir meski udara pagi belum panas.
Cerita Bu Tina bukan sekadar keluh kesah. Ia adalah potret kecil dari Indonesia di tiga bulan pertama 2025: sebuah negeri yang berjalan di antara harapan dan ketakutan, antara gemerlap janji pembangunan dan bayang-bayang kegelapan yang mengintai.Â
Sejak Oktober 2024, ketika kabinet baru mulai bekerja, angin perubahan berhembus kencang. Tapi angin itu tidak selalu membawa kesejukan. Di media sosial, tagar #IndonesiaGelap menjadi viral.
Bukan karena mati lampu, melainkan karena rakyat merasa masa depan mereka meredup. Pemerintah memangkas subsidi energi sebesar 30%, mencabut anggaran pendidikan tinggi hingga Rp4,2 triliun, dan mengikis alokasi kesehatan hingga 18%.
Di saat yang sama, proyek jalan tol sepanjang 1.200 km di Kalimantan tetap berjalan, dan anggaran modernisasi alutsista militer naik 15%.
"Kalau rakyat disuruh berhemat, kenapa proyek mercusuar dan senjata tidak?" tanya seorang netizen dengan getir.Â
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi 0,76% pada Januari dan 0,48% pada Februari 2025. Tapi jangan terkecoh. Deflasi ini bukan pertanda ekonomi stabil, melainkan bukti daya beli masyarakat yang ambruk.
Harga cabai rawit mungkin turun 12%, tapi di balik itu, upah buruh tani di Palolo tak lagi cukup untuk membeli beras. Di sektor industri, badai PHK melanda. Sritex Group---perusahaan tekstil yang pernah jadi kebanggaan nasional---memberhentikan 11.025 karyawan.
Yamaha Music Piano, Sanken Indonesia, dan puluhan pabrik lain mengikuti jejaknya. Menurut KSPI, 44.069 buruh kehilangan pekerjaan hanya dalam dua bulan. Mereka adalah ayah-ibu yang tiba-tiba tak bisa membayar uang sekolah anak, atau pemuda yang pulang kampung dengan tangan hampa.Â