Pernahkah Anda membayangkan diri sedang berdiri di tepi sungai, memegang batu besar bernama "dendam"? Setiap langkah yang Anda ambil terasa berat, namun melepaskan batu itu pun tak mudah.
Anda tahu, batu itu membuat kaki lecet, tapi ada rasa aman palsu dalam menggenggamnya---seolah dengan meletakkannya, Anda memberi izin pada orang yang menyakiti untuk melukai lagi.
Ini bukan tentang sungai atau batu. Ini tentang kita, manusia, yang kerap terjebak dalam dilema: memaafkan atau melupakan.Â
Mega Tala Harimukthi, psikolog klinis, pernah berkata, "Memaafkan adalah proses tanpa diminta."
Kata kuncinya: proses. Bukan ritual sekali jadi, apalagi paksaan. Seperti merajut kain yang sobek, kita butuh waktu untuk menyambung benang-benang emosi yang putus.
Tapi benarkah kita harus menghapus semua memori tentang luka itu? Jawabannya tidak. Memaafkan bukanlah penghapusan sejarah, melainkan perubahan cara kita memandang sejarah.Â
Di sebuah sudut kota, Nita (bukan nama sebenarnya) bercerita tentang pengkhianatan sahabatnya. "Aku sudah memaafkan, tapi aku tak bisa lagi mempercayainya," katanya.
Keputusan Nita bukanlah kelemahan, melainkan bentuk perlindungan diri. Studi dari Journal of Behavioral Medicine (2016) mengungkap bahwa 67% partisipan yang mempraktikkan forgiveness therapy mengalami penurunan gejala kecemasan.
Namun, 42% di antaranya tetap memilih menjaga batas dengan pelaku. Artinya, memaafkan dan menjaga jarak bisa berjalan beriringan---seperti menenangkan diri tanpa menyerahkan kunci hati untuk kedua kalinya.Â
Islam, sebagai agama yang menekankan kasih sayang, memberi tuntunan jelas. Dalam Surah An-Nisa ayat 149, Allah berfirman, "Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya, atau memaafkan suatu kesalahan, maka sungguh Allah Maha Pemaaf, Maha Kuasa."