Lebaran tiba! Saatnya bersilahturahmi, saling memaafkan, dan... berdebat di dapur tentang apakah rendang harus dimasak 8 jam atau cukup 30 menit di pressure cooker.
Ya, Idul Fitri bukan hanya tentang kemenangan setelah sebulan berpuasa, tapi juga arena pertarungan generasi: antara yang ingin mempertahankan resep turun-temurun dan yang bersikeras memasukkan matcha ke dalam kue putri salju.
Di balik senyum sumringah menyambut tamu, ada drama kecil yang menggelitik: bisakah tradisi dan inovasi berdamai di meja makan?Â
Bayangkan suasana dapur tiga hari sebelum Lebaran. Ibu dan nenek sibuk menganyam ketupat dengan cekatan, seolah sedang menyihir daun kelapa menjadi kotak ajaib.
Sementara itu, sang cucu---mahasiswa semester akhir yang baru saja belajar food styling di Instagram---berbisik, "Kenapa nggak beli ketupat instan saja? Kan ada yang plastik, tinggal rebus 10 menit!"
Nenek memicingkan mata, seakan berkata, "Kau kira ini magic com? Ketupat itu harus dianyam dengan doa, bukan dibeli di e-commerce!"
Di situlah letak ironi zaman: daun kelapa yang dulu melimpah, kini harus dipesan online dengan bonus tutorial YouTube "Cara Menganyam Ketupat untuk Millennials yang Tidak Sabaran".Â
Proses membuat ketupat memang seperti ujian kesabaran tingkat dewa. Setelah berhasil menyulap daun menjadi anyaman (yang kadang lebih mirip sarang laba-laba), beras harus dimasukkan perlahan, lalu direbus berjam-jam hingga padat.
Salah sedikit, jadilah bubur ketupat---atau lebih parah, rice pouch ala restoran cepat saji. Tapi di balik repotnya, ada kebanggaan tersendiri ketika melihat ketupat utuh tergeletak di meja, siap disantap dengan opor ayam yang harumnya membius hidung.
"Ini bukan sekadar makanan, tapi simbol," ujar seorang ibu sambil menyusun lontong sayur. "Ketupat itu seperti maaf: harus dibelah dengan hati-hati, sampai isinya yang putih bersih keluar."Â