Matahari belum sepenuhnya meninggalkan ufuk timur, namun hawa panas sudah menyelimuti lembah Sungai Palupi. Kardi menginjakkan sepatu botnya yang lapuk di atas bukit pasir, tangannya mencengkeram sekop kayu yang sudah menemani separuh hidupnya.
Setiap kali matahari menyapa, ia mulai menggali: gerakan mekanis, ritmis, seolah tubuhnya adalah mesin yang dipaksa bekerja tanpa oli. Debu pasir beterbangan, menempel di keringat yang membasahi kausnya yang berlubang.
Di antara desir angin yang membawa bau lumpur sungai, bibirnya bergetar melantunkan Doa Nabi Muhammad SAW:
"Allahumma inni a'udzubika minal hammi wal huzni, wal ajzi, wal kasali, wal bukhli, wal jubni, wal dholaid daini, wa gholabatir rijali" (Artinya: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan, kecemasan, kelemahan, rasa malas, kikir, rasa takut, hutang dan kezaliman orang lain").
Kalimat itu ia hafal sejak kecil, warisan ayahnya yang ia ulang tiap rasa lelah hendak melumpuhkan tulangnya. Â
Upah Rp25.000 per truk pasir harus ia kejar, meski di bulan Ramadan ini, lapar dan dahaga menjadi lawan yang lebih kejam dari terik matahari.
"Cuan harus mengalir," bisiknya, menirukan petuah almarhum ayah.Â
Tapi di balik kata-kata itu, ada kegelisahan yang menggerogoti: harga gula naik, tabungan untuk zakat masih setengah jalan, dan sepatu sekolah anak sulungnya sudah bolong di ujung jari. Â
Pukul sebelas siang, Suadi, rekan kerjanya yang berkumis tebal, menyodorkan se-botol air mineral.
"Minum, bro. Daripada pingsan." Kardi menggeleng, tersenyum kecut.
"Masih kuat. Puasa itu tameng, kata Ustad."