Ramadan, bulan penuh berkah, pahala berlipat, dan... sampah makanan yang meroket 20%? Ya, di tengah gegap gempita buka puasa bersama, ada satu "tradisi" yang diam-diam ikut meramaikan: diet sampah.
Bukan diet untuk manusia, tapi diet untuk tempat sampah yang setiap hari kebanjiran sisa kolak, ketupat, dan ayam goreng yang gagal dihabiskan.
Bayangkan saja, setelah seharian perut kita berpuasa, mata dan tangan malah kalap membeli takjil seolah-olah perut kita adalah gudang tanpa dasar. Alhasil, sampah organik pun menumpuk, dan landfill (TPA) menjerit: "Aku juga mau puasa, dong!" Â
Mari kita akui, saat azan Maghrib berkumandang, nalar manusia seringkali hangus digantikan oleh naluri "survival" ala zombie lapar. Kita membeli lima jenis takjil, mengambil nasi sepiring gunung, plus es blewah tiga gelas---seakan-akan besok tidak ada lagi buka puasa.
Padahal, perut kita hanya sebesar toples kue Lebaran yang sudah dijarah sepupu-sepupu. Hasilnya? Separuh makanan berakhir di tempat sampah, dan kita pun bertanya: "Ini food waste atau waste of money?" Â
Tapi, jangan salahkan perut. Ia hanya korban dari lapar mata yang akut. Sementara itu, sampah makanan yang terbuang mulai menggelinding seperti bola salju menuju TPA.
Di sana, mereka bertemu dengan nasib yang muram: menumpuk, membusuk, lalu menyebarkan bau yang bisa mengalahkan aroma rendang semalam.
Lebih parah lagi, sampah organik ini bukan sekadar bau. Mereka adalah dalang di balik drama lingkungan: leachate (cairan sampah) yang meresap ke tanah seperti ninja pencemar air, gas metana yang bersembunyi di balik tumpukan sampah siap meledak seperti fireworks tanpa undangan, hingga risiko longsor yang membuat TPA lebih mirip rollercoaster maut. Â
Bayangkan gas metana sebagai badut jahat di pesta iklim. Dia 28 kali lebih nakal daripada karbon dioksida dalam memerangkap panas. Setiap kali kita membuang nasi sisa, gas ini tertawa sambil berkata: "Terima kasih, ya! Aku akan panaskan bumi lebih cepat!"
Belum lagi, saat TPA kelebihan beban, dia bisa meledak dan mengundang kebakaran yang asapnya lebih tebal daripada hiruk-pikuk pasar Ramadan. Tragedi Leuwigajah 2005 adalah contoh nyata: sampah bukan cuma bikin pusing, tapi juga bisa jadi siluman penghancur. Â