Di zaman di mana jempol netizen lebih berkuasa daripada megafon ratusan pengeras suara, muncul fenomena yang sering diibaratkan "ketulusan netizen bak pisau bermata dua."
Ibarat pisau yang tajam dan berkilau, cancel culture mampu memotong perilaku tak pantas sekaligus menusuk ke dalam hati sang pelaku. Namun, di balik segala keadilan yang ingin ditegakkan, tersimpan juga sisi getir yang kerap menyisakan luka mendalam.
Ambil contoh kasus film remake A Business Proposal versi Indonesia yang sepi penonton. Di balik upaya menghadirkan cerita yang diadaptasi dari drama Korea populer, kontroversi datang mengetuk pintu bioskop.
Sang bintang, Abidzar Al-Ghifari, secara santai mengaku hanya menonton satu episode dari versi aslinya dan menyatakan ada rasisme di Indonesia. Pernyataan ini, meskipun terdengar sederhana, bagaikan percikan api di tumpukan bahan bakar yang sudah kering, memicu amarah publik yang membuncah.
Netizen pun dengan cepat mengaktifkan tombol "cancel" layaknya menekan tombol panic dalam situasi genting, sehingga seruan boikot terhadap film tersebut pun merebak tanpa ampun.
Kasus ini hanya satu dari sekian banyak contoh cancel culture yang marak terjadi 3-4 tahun belakangan ini, terutama di era media sosial.
Fenomena cancel culture sendiri, dari Dictionary.com hingga Merriam-Webster, semua sepakat bahwa ini tentang sebuah praktik populer di media sosial di mana dukungan secara masif dihimpun untuk "membatalkan" seseorang yang dianggap telah melakukan atau mengungkapkan sesuatu yang ofensif.
Ibarat pesta kostum yang tiba-tiba berubah menjadi arena pertempuran, para netizen berlomba-lomba menunjukkan "ketulusan" mereka dengan menyerang figur publik, korporasi, bahkan lembaga pemerintahan yang dianggap melangkahi batas.
Namun, jika kita mengamati lebih dalam, cancel culture tidaklah semata-mata tentang keadilan sosial. Ia adalah cerminan dari spontanitas dan emosi yang menggelegak dalam diri manusia modern, di mana setiap klik, retweet, atau share bisa berubah menjadi senjata tajam yang menghancurkan reputasi seseorang dalam hitungan menit.
Seperti halnya pisau bermata dua, cancel culture menyimpan potensi untuk mengasah moralitas dan mengikis perilaku negatif, namun pada saat yang sama dapat melukai secara personal. Di satu sisi, budaya pembatalan ini menjadi alat kontrol sosial yang efektif.