Dalam lanskap ekonomi global yang kian bergejolak, ancaman tarif menjadi senjata favorit Presiden Donald Trump untuk menekan negara-negara mitra dagangnya.
Baru-baru ini, Trump kembali menggunakan taktik ini terhadap Kanada dan Meksiko, meskipun kemudian memberikan jeda 30 hari untuk negosiasi lebih lanjut.
Meskipun tampaknya memberi ruang bagi diplomasi, langkah ini tetap meninggalkan ketidakpastian bagi pasar global, pelaku bisnis, dan investor.
Kebijakan ini bukanlah hal baru. Sepanjang masa kepemimpinannya, Trump kerap menggunakan tarif sebagai alat negosiasi, baik terhadap Tiongkok, Uni Eropa, maupun negara-negara di Amerika Utara.
Alasannya bervariasi, mulai dari mengurangi defisit perdagangan hingga menekan negara lain agar memenuhi tuntutan kebijakan imigrasi dan pemberantasan narkoba.Â
Namun, di balik retorika Trump tentang "keadilan perdagangan," banyak ekonom dan pengamat internasional melihat langkah ini sebagai upaya proteksionisme agresif yang bisa memicu ketegangan ekonomi lebih luas.
Penundaan tarif yang diberikan kepada Kanada dan Meksiko, misalnya, dilakukan setelah kedua negara menyetujui sejumlah tuntutan AS, termasuk peningkatan keamanan perbatasan dan langkah konkret melawan perdagangan narkotika.
Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, bahkan mengumumkan pembentukan satuan tugas bersama AS-Kanada untuk memberantas kartel narkoba. Di sisi lain, Presiden Meksiko, Claudia Sheinbaum, setuju menambah 10.000 anggota Garda Nasional untuk mengamankan perbatasan.
Meski tampaknya berhasil memaksa Kanada dan Meksiko untuk memenuhi keinginannya, ancaman tarif Trump tetap menjadi sumber keresahan global. Bahkan, meskipun ketegangan dengan dua negara tetangga utama AS ini mereda, Trump masih bersiap untuk menerapkan tarif baru terhadap Uni Eropa dan Tiongkok.
Dengan pendekatan ini, dunia masih belum bisa bernapas lega dari kemungkinan perang dagang jilid kedua.
Dampak dari kebijakan ini pun tak bisa diabaikan. Kajian dari Tax Foundation, Tax Policy Center, dan Peterson Institute for International Economics menunjukkan bahwa tarif impor yang tinggi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi AS sendiri, menekan pendapatan masyarakat, serta memicu kenaikan harga barang konsumsi.