Mohon tunggu...
ikhsan bukhori
ikhsan bukhori Mohon Tunggu... Foto/Videografer - freelance

berjalan tak seperti rencana adalah hal yang sudah biasa, dan jalan satu-satunya, jalani sebaik kau bisa.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlukah Hukuman Mati?

13 Desember 2019   11:52 Diperbarui: 13 Desember 2019   11:57 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Anti Korupsi Sedunia diperingati pada tanggal 9 Desember. Peringatan tersebut bertujuan untuk memerangi tindak korupsi yang sudah merajalela dimana-mana, salah satunya Indonesia, sebagai Negara yang juga ikut memperingati hari anti korupsi sedunia. Menurut KBBI, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Sedangkan, menurut Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengartikan bahwa Korupsi adalah Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Sudah bukan topik baru di masyarakat tentang hukuman apakah yang pantas dan efektif untuk membuat koruptor jera, sehingga tingkat korupsi dapat diminimalisir. Dimulai dari perencanaan hukuman seumur hidup hingga hukuman mati sudah diperdebatkan sebelumnya.

Bersamaan dengan peringatan hari anti korupsi sedunia, dalam pidatonya Jokowi (Presiden RI) terkait dengan wacana pemberian hukuman mati terhadap koruptor tentu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Walaupun sudah lazim dibicarakan, topik hukuman bagi para koruptor tentu menjadi perdebatan di tiap kalangan, khususnya para politisi.

Menanggapi wacana Jokowi tersebut, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly menanggapi hal tersebut secara santai dan masih menunggu proses perkembangan wacana tersebut.

Di beberapa wawancara media, Jokowi menyebutkan bahwa wacana hukuman mati bagi para koruptor didasarkan atas kehendak rakyat. Koruptor memang selalu menjadi perdebatan panas di kalangan masyarakat. Dalam kasus korupsi, masyarakat memang menjadi pihak yang dirugikan.

Tarik ulur wacana hukuman mati bagi koruptor dari tahun-tahun sebelumnya selalu menyinggung tentang hak asasi manusia, dimana pemberian hukuman mati bagi koruptor bersinggungan dengan prinsip hak asasi manusia (human rights). Beberapa ahli menanggapi bahwa korupsi adalah tindakan 'membunuh' kemanusiaan, tetapi dalam konteks memberikan hukuman mati bagi koruptor berarti meniadakan hak untuk hidup secara utuh.

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa Beliau menolak wacana hukuman mati bagi koruptor. Bagi beliau, hukuman mati bagi koruptor bertentangan dengan bunyi pembukaan UUD 1945 yang berbunyi "........ melindungi segenap bangsa Indonesia dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia.", dimana Pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa wajib melindungi keamanan dan kesejahterahan warganya.

Sekjen PDIP juga menilai bahwa bukan hak manusia dalam memberi pengadilan mati terhadap manusia lainnya, hal tersebut dinilai melebihi kuasa Sang Kuasa (Tuhan Yang Maha Esa). Tetapi, tidak sedikit dari masyarakat yang setuju terhadap wacana hukuman mati bagi koruptor. Masyarakat menilai bahwa hukuman mati dapat menjadi iming-iming yang menyeramkan bagi para koruptor negara. Masyarakat menganggap bahwa tindak korupsi masih merajalela di Indonesia, maka dari itu diperlukan hukuman yang tegas agar korupsi dapat diminimalisir.

Hukuman mati sebelumnya sudah tertulis di UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 Ayat 2 yang dapat dijatuhkan bagi para koruptor dalam keadaan tertentu, yaitu jika korupsi dilakukan dalam anggaran bencana alam dan jika korupsi dilakukan dalam krisis ekonomi negara.

Kelonggaran hokum di Indonesia yang sering dinilai masyarakat sebagai tumpul ke atas membuat wabah korupsi semakin merajalela. Salah satu bukti kelonggaran hokum di Indonesia terdapat pada kasus yang pernah terjadi terhadap mantan anggota DPRD Mataram dari Fraksi Golkar yaitu Muhir yang terjaring OTT Kejari Mataram terkait pungli bencana alam. Namun, Muhir hanya divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Hal tersebut membuktikan bahwa hukuman mati bagi koruptor masih 'abu-abu'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun