Ramadan sering kali dipandang sebagai bulan yang membawa ketenangan batin dan kedamaian spiritual. Namun, di balik atmosfer religius yang penuh keberkahan, tidak semua orang mengalami Ramadan sebagai momen yang menenangkan. Bagi sebagian individu, perubahan ritme hidup, tuntutan ibadah, dan tekanan sosial selama bulan suci ini justru dapat menjadi tantangan bagi kesehatan mental mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia terbiasa dengan rutinitas yang stabil. Ketika Ramadan tiba, ritme tersebut berubah drastis. Waktu makan bergeser ke sebelum fajar dan setelah matahari terbenam, tidur menjadi terpecah-pecah, dan aktivitas ibadah meningkat. Perubahan ini, meskipun memiliki tujuan spiritual, dapat memicu stres, terutama bagi mereka yang sudah berjuang dengan gangguan kecemasan atau depresi.
Puasa melatih kesabaran dan pengendalian diri, tetapi bagi sebagian orang, kurangnya asupan makanan dan perubahan pola tidur dapat menyebabkan ketidakstabilan suasana hati. Beberapa orang merasa lebih mudah tersinggung, kurang fokus, atau bahkan mengalami perasaan cemas yang lebih intens dibandingkan hari-hari biasa.
Selain faktor biologis, tekanan sosial selama Ramadan juga dapat menjadi beban tersendiri. Ada ekspektasi untuk meningkatkan ibadah, terlibat dalam kegiatan keagamaan, dan menunjukkan semangat spiritual yang tinggi. Mereka yang merasa kesulitan dalam menjalankan ibadah karena kondisi mental tertentu sering kali mengalami rasa bersalah atau takut dihakimi oleh lingkungan sekitar.
Di tengah budaya berbuka puasa bersama dan kebersamaan, ada individu yang justru merasakan kesepian lebih dalam selama Ramadan. Tidak semua orang memiliki keluarga atau komunitas yang mendukung. Bagi mereka yang tinggal sendiri atau sedang dalam kondisi emosional yang sulit, Ramadan bisa menjadi bulan yang penuh dengan perasaan isolasi dan keterasingan.
Beban finansial juga menjadi aspek yang sering diabaikan dalam kaitannya dengan kesehatan mental selama Ramadan. Banyak orang merasa terdorong untuk mengeluarkan lebih banyak uang untuk hidangan berbuka, pakaian baru, atau persiapan Lebaran. Tekanan ekonomi ini bisa menjadi pemicu stres tambahan, terutama bagi mereka yang sudah berjuang dengan kondisi keuangan yang sulit.
Di sisi lain, bagi sebagian individu yang memiliki gangguan makan, Ramadan dapat menjadi bulan yang penuh tantangan. Pola makan yang berubah dan fokus yang lebih besar pada makanan saat berbuka dapat memperburuk hubungan seseorang dengan makanan. Ada yang merasa tertekan untuk makan berlebihan saat berbuka, sementara yang lain merasa cemas dengan perubahan jadwal makan yang tidak biasa.
Meski demikian, Ramadan tetap bisa menjadi peluang untuk memperbaiki kesehatan mental jika dijalani dengan cara yang lebih fleksibel dan penuh kesadaran. Alih-alih terjebak dalam ekspektasi sosial yang kaku, penting untuk menjalani Ramadan sesuai dengan kondisi diri sendiri. Tidak semua orang harus memaksakan diri untuk mencapai standar tertentu dalam ibadah atau gaya hidup selama bulan suci ini.
Salah satu cara untuk menjaga kesehatan mental selama Ramadan adalah dengan memberi ruang bagi diri sendiri untuk beristirahat dan memahami batasan pribadi. Jika merasa lelah atau kewalahan, tidak ada salahnya mengambil jeda. Tuhan tidak menilai seseorang hanya dari banyaknya ibadah yang dilakukan, tetapi juga dari ketulusan dan niat di baliknya.
Mendekatkan diri kepada Tuhan selama Ramadan juga tidak selalu harus melalui ibadah formal. Bagi mereka yang merasa cemas atau tertekan, berbicara dengan orang-orang yang dipercaya, mencari komunitas yang suportif, atau bahkan sekadar menulis jurnal tentang perasaan mereka bisa menjadi cara alternatif untuk merasakan kedamaian batin.