Cancel culture merupakan sebuah fenomena sosial yang semakin marak di era digital. Fenomena ini menggambarkan kecenderungan masyarakat untuk secara cepat menghukum figur publik melalui boikot dan kritik tajam di ranah maya.
Media sosial berperan besar dalam menyebarkan opini dan membentuk narasi yang sering kali mengaburkan fakta.
Di balik popularitasnya, cancel culture menyisakan banyak pertanyaan mengenai keadilan dan kebenaran dalam proses penilaian publik.
Banyak kalangan menilai bahwa tindakan membatalkan seseorang hanya berdasarkan satu kesalahan merupakan bentuk pertanggungjawaban yang terlalu keras.
Di sisi lain, sebagian masyarakat melihat cancel culture sebagai mekanisme untuk menuntut pertanggungjawaban atas perilaku yang dianggap tidak pantas.
Diskursus ini menciptakan perdebatan sengit antara mereka yang menuntut keadilan dan mereka yang khawatir akan potensi penyalahgunaan kekuatan media sosial.
Tak jarang, figur publik yang terjerat cancel culture harus menghadapi dampak yang menghancurkan karier dan reputasi mereka dalam sekejap.
Kritik dan kecaman yang datang secara massal sering kali menutupi nuansa yang lebih kompleks dari setiap kasus yang terjadi.
Ketika opini publik bergerak terlalu cepat, kesempatan untuk klarifikasi dan perbaikan diri pun kerap terlewatkan.
Tanggapan dari kalangan profesional dan pengamat sosial menunjukkan bahwa cancel culture bisa menjadi pedang bermata dua.