Mohon tunggu...
Ikhlas Tawazun
Ikhlas Tawazun Mohon Tunggu... Freelancer - instagram/twitter: @tawazunikhlas

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia 2018

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bicara Cuan Ibu Kota Baru

24 Agustus 2019   13:47 Diperbarui: 24 Agustus 2019   14:19 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Dokumentasi Penulis)

Belakangan ini banyak muncul skeptisisme terkait rencana pemindahan ibu kota. Skeptisisme tersebut muncul khususnya terkait biaya fantastis hingga dampak ekonomi yang diragukan. Beberapa tokoh dan media pun terang-terangan mengambil posisi menolak dan menyebut pemindahan ibu kota adalah proyek membuang-buang uang rakyat. Namun, benarkah demikian? Memang berapa uang yang dibutuhkan untuk memindahkan ibu kota? Dan gimana dampak ekonominya?

Berdasarkan perkiraan awal Bappenas, pemindahan ibu kota kurang lebih akan memakan biaya 500 T. Akhir Juni lalu, Bappenas merinci dan membuat dua skenario pembiayaan pemindahan ibu kota, yang masing-masing memakan 466 T dan 323 T rupiah, atau sekitar 32,9 M (miliar) dan 22,8 M dollar AS. Angka tersebut belum termasuk biaya operasi pemerintahan selama transisi, biaya relokasi PNS, dan biaya-biaya lainnya.

Kanal berita Tirto.id di dalam artikel "Di Balik Biaya Besar Pemindahan Ibu Kota Berbagai Negara" lantas membandingkan biaya 466 T tersebut dengan penerimaan negara sepanjang 2018 yang hanya sebesar 1.942 T rupiah. Kenyataan tersebut belum ditambah dengan defisit anggaran negara tahun ini yang diperkirakan mencapai 296 T rupiah. Dengan demikian, pemindahan ibu kota jelas akan sangat membebani APBN dan menghambat kinerja K/L dan program-program prioritas negara.

Argumentasi Tirto.id tersebut sebenarnya kurang tepat. Di dalam kajian yang sudah rilis sebelum artikel tersebut tayang, Bappenas telah menyatakan bahwa pembiayaan pemindahan ibu kota tidak akan didominasi oleh APBN. Pemerintah akan memaksimalkan alternatif pembiyaan lain seperti menggandeng BUMN, swasta, dan menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Bambang Brodjonegoro, Menteri PPN/Bappenas, memaparkan bahwa sekitar 54% pembiayaan akan menggunakan skema KPBU, 26% menggandeng swasta, dan 20% dengan APBN. APBN akan digunakan untuk membangun infrastruktur pemerintahan dasar seperti istana negara, markas TNI/Polri, dan ruang terbuka hijau (RTH).

BUMN akan diberdayakan untuk membangun sarana transportasi seperti bandara, tol, dan pelabuhan. Skema KPBU akan digunakan untuk pembangunan gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sarana kesehatan, dan infrastruktur utama lainnya. Terakhir, swasta akan digandeng dalam pembangunan perumahan umum, perguruan tinggi, dan berbagai sarana rekreasi. Penggunaan APBN akan ditekan serendah mungkin agar tidak mengganggu jalannya pemerintahan.

Selain masalah biaya, pemerataan ekonomi juga menjadi probematika yang disorot. Di dalam kolom Tempo berjudul "Tolak Relokasi Ibu Kota", disebutkan bahwa rencana relokasi sama sekali bukan solusi untuk pemerataan dan keadilan ekonomi. Argumen ini tentu mengandung skeptisisme yang beralasan, tetapi menihilkan relokasi ibu kota sebagai 'sama sekali bukan solusi' merupakan kekeliruan.

Terdapat bukti bahwa pemindahan ibu kota dapat memperbaiki pemerataan ekonomi. Dalam kasus pemindahan ibu kota Brazil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, diraih juga pemerataan ekonomi. Brasilia dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru selain kota-kota besar di pesisir Brazil. Dengan 40% pekerjaan di sektor publik, PDB Brasilia pada 2016 adalah 14.500$ per kapita. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional 4.572$ per kapita dan bahkan diatas kota-kota besar Brazil seperti Rio de Janeiro dan Sao Paulo dengan PDB masing-masing 7.700$ dan 8.100$ per kapita. Kontribusi Brasilia dalam PDB nasional juga terbilang besar. Brasilia menempati posisi ketiga dalam kontribusi PDB nasional dengan kontribusi sebesar 3.8%, hanya dibawah Rio de Janeiro dan Sao Paulo dengan masing-masing 5.3% dan 11.0%.

Bappenas juga memaparkan keuntungan ekonomi lainnya dari pemindahan ibu kota. Pemindahan ibu kota yang menggunakan sumber daya potensial yang belum termanfaatkan disebut akan berdampak positif 0.1% terhadap real PDB nasional. Investasi pembangunan ibu kota baru juga akan memberikan bebera efek pengganda positif kepada perekonomian nasional, yaitu 2.3* output multiplier dan 2.9* employment multiplier (type II multiplier) .

Selain itu, pemindahan ibu kota akan mendorong diversifikasi ekonomi dan meningkatkan output sektor non-tradisional, terutama sektor jasa. Terakhir, pemindahan ibu kota ke luar Jawa akan meningkatkan perdagangan di dalam provinsi ibu kota baru, Pulau Jawa ke luar Jawa, dan antar provinsi di luar Jawa. Secara keseluruhan, lebih dari 50% wilayah di Indonesia akan merasakan peningkatan arus perdagangan jika ibu kota negara dipindah ke provinsi yang memiliki konektivitas tinggi.

Terlepas dari skema pembiayan dan dampak ekonomi positifnya, pemindahan ibu kota adalah adalah proyek jangka panjang yang belum bisa dipastikan hasilnya. Skema pembiayaan dapat melenceng dari rencana awal, biaya yang dikeluarkan mungkin menggelembung, belum lagi kerawanan proyek ratusan triliun tersebut terhadap korupsi. Keberhasilan Brazil, pemerataan ekonomi, dan dampak positif lainnya yang diprediksi Bappenas juga belum tentu bisa dicapai. Semuanya sangat tergantung pada keseriusan dan kelihaian pemerintah dalam mengeksekusi pemindahan ibu kota negara. Oleh karena itu, pemindahan ibu kota sudah sepatutnya dikawal oleh pemerintah, civil society, dan seluruh elemen bangsa Indonesia untuk menjamin keberhasilannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun