Mohon tunggu...
Julak Ikhlas
Julak Ikhlas Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah dan Fiksi

Julak Anum - Menulis adalah katarsis dari segenap sunyi. IG: https://www.instagram.com/ikhlas017 | FB: https://web.facebook.com/ikhlas.elqasr | Youtube: https://www.youtube.com/c/ikhlaselqasr

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rania Menangis

9 Januari 2020   18:16 Diperbarui: 9 Januari 2020   18:49 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: unsplash.com

Sesuatu yang janggal telah terjadi pada Rania. Anak tersayang kami itu, entah kenapa kini ia lebih sering menangis. Padahal, menangis tak memberikan kelegaan apapun. Sehingga aku dan suami memutuskan untuk berhenti meneteskan benda cair bodoh itu lagi.

Dahulu memang, menangis adalah andalan kami ketika usus-usus dalam perut mengeriput. Begitu juga ketika tangan telanjang kami gemetar menadah belas kasihan orang-orang yang berlalu lalang.

Lama-kelamaan, kami merasa tak ada untungnya mengeluarkan air mata. Sebab tak ada yang berubah, kecuali perut yang semakin perih dan tangan yang semakin kehilangan tenaga. Namun, apa yang terjadi setelahnya? Tak ada yang lain selain kembali menangis sejadi-jadinya.

Begitu seterusnya, sampai anak tersayang kami, Rania, lahir tanpa rengek tangis ataupun air mata. Ia terlihat bahagia, tapi kami malah terperanjat dalam kesedihan dengan rasa bersalah yang mendalam. Hingga tak ada malam yang terlewati tanpa tangisan.

Pada malam kedelapan setelah Rania kulahirkan. Kami akhirnya memutuskan untuk mengucapkan selamat tinggal pada air mata selamanya. Menyusul Rania dengan racun tikus yang kami tenggak bersama-sama.

"Aku sudah tenang, tapi kalian membuatku sedih." Rania menangis, mengawang-awang di atas sana.

Kami sempat kebingungan dengan apa yang dikatakan Rania. Namun beberapa saat kemudian, akhirnya kami mengerti dan kau tahu, apa yang kami lakukan setelahnya? Ya, tak ada yang lain selain menangis tanpa jeda dalam penyesalan dan siksa.

Dokpri
Dokpri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun