Mohon tunggu...
Julak Ikhlas
Julak Ikhlas Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah dan Fiksi

Julak Anum - Menulis adalah katarsis dari segenap sunyi. IG: https://www.instagram.com/ikhlas017 | FB: https://web.facebook.com/ikhlas.elqasr | Youtube: https://www.youtube.com/c/ikhlaselqasr

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Ajari Aku

1 Juli 2019   02:21 Diperbarui: 1 Juli 2019   02:23 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Ditemani secangkir kopi dalam senampan pagi. Kuhitung kembali deret rindu yang tumbuh dalam toples waktu. Almanak hari telah menunjukkan angka satu. Pertanda bulan telah berganti. Dan aku masih saja mencari diksi yang pasti. Tentang hakikat dalam kata menanti.

Perempuan yang menjadi ruh, dalam penaku yang lusuh. Ia masih saja bergeming dalam bangku keheningan. Padahal, aku tahu. Ia seorang pengamat kata-kata dan kalimat. Namun, sajak-sajak yang kubuat. Dibiarkannya mati, tanpa teresapi.

Perempuan yang menjelma kopi pada pagi dalam senarai aksara hati. Ia masih saja merawat hujan dalam kediaman. Padahal, aku tahu. Ia mendamba aroma mentari yang biasa tumbuh di kaki-kaki hari. Namun, abjad-abjad itu diubahnya menjadi kelam, tanpa sejumput bantuan dari gelapnya malam.

Perempuan yang merupa senja dalam alinea renjana. Ia masih saja memahat kesendirian dalam kepiluan. Padahal, aku tahu. Ia ingin sekali mengecap manisnya pertemuan. Namun, inginnya hanyalah angan-angan yang tertahan di tenggorokan.

Perempuan yang menitis pesona rembulan dalam prosa harapan. Ia masih saja enggan untuk menjahit luka lebam masalalu. Padahal, aku tahu. Ia hendak bangkit dari karamnya kesakitan. Namun, bayang-bayang kenangan selalu menghujani semua harapan hingga tenggelam.

Mungkin, aku yang dungu. Tak berani menemuimu dan hanya menitipkan debu-debu rindu pada puisi dan prosa yang bisa jadi memunculkan interpretasi ambigu.

Maka, ajari aku bagaimana meyakinkanmu. Sebab aku terlalu gagap untuk merangkul dekap. Agar segala ingin, angan, dan harapan menjadi kenyataan. Tanpa bayang-bayang kenangan yang suram.

Ajari aku bagaimana aku bergerak menujumu. Sebab aku tak pandai mengayuh harap untuk menjauh dari arus yang kunamai diam-diam menanti, diam-diam merindui.

Lalu, setelah itu. Ajari aku bagaimana selayaknya mencintaimu.

Angsana, 01 Juli 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun