Mohon tunggu...
Julak Ikhlas
Julak Ikhlas Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah dan Fiksi

Julak Anum - Menulis adalah katarsis dari segenap sunyi. IG: https://www.instagram.com/ikhlas017 | FB: https://web.facebook.com/ikhlas.elqasr | Youtube: https://www.youtube.com/c/ikhlaselqasr

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dalam Pelukan Senja

22 Mei 2019   06:42 Diperbarui: 22 Mei 2019   07:03 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Kita membeku pada sebuah titik temu, yang menjeda detak tiap detiknya. Hingga kita tersengal dalam gigil paling bebal. Konstelasi visual yang sesak dengan haru-biru kerinduan. Semakin memperkuat gangguan respirasi yang mencoba siuman dari ciuman masa lalu.

Kulihat pipimu telah basah oleh air mata, yang pecah dari kaca-kacanya. Lalu sebagian air mata memilih untuk mengalir landas dan jatuh ke bumi hingga tandas.

Aku sedang sibuk mengumpulkan sajian pembuka. Entah itu senampan kata-kata dalam meja aksara. Atau hanya semangkuk senyum yang menyungging tanpa bicara.

Ah, ternyata kau lebih siap dari yang kukira. Sambil menyapu air mata kau berkata, "Hai, Lelaki! Apa yang kau pikirkan? aku tak mau melewatkan pertemuan ini hanya dengan kediaman."

Aku terkejut dan tak sengaja menumpahkan semua hidangan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan matang. Akhirnya, aku hanya tersungging malu. Tak tahu harus berkata apa, aku tergugu.

Tetiba kau menghambur peluk. "Meski senja yang lalu memisahkan kita, tapi sebelumnya kita telah sering bertemu. Mengapa kau masih saja kaku? dasar ...," katamu lagi, diiringi gelak tawa dengan pukulan kecil mendarat di pundakku.

Kucoba menarik napas yang semakin berat. Kemudian menyusun kata tanya yang paling mendasar tentang status perempuan yang sedang dalam pelukan ini. Bagaimana tidak, sejak perpisahan yang janggal itu, hari demi hati kulewati dengan kebimbangan. Kau pergi tanpa sepatah kata pasti. Hanya ciuman terakhir yang bisa dipegang sebagai pertaruhan harap.

"Kau tahu, Lelaki? aku masih sendiri dan selalu menantikan pertemuan ini kembali." katamu seraya melepas pelukan.

Pertanyaan belum terucap, kau selalu tahu apa yang mesti dijawab. Kuteguk saliva kasar yang mengganjal di tenggorokan. Meski tergagap, dengan yakin aku berucap, "A ... aku tak akan membiarkanmu pergi lagi. Izinkan aku melamarmu, maukah kau menjadi istriku?"

Suasa kembali mendadak haru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun