Mohon tunggu...
Julak Ikhlas
Julak Ikhlas Mohon Tunggu... Guru - Peminat Sejarah dan Fiksi

Julak Anum - Menulis adalah katarsis dari segenap sunyi. IG: https://www.instagram.com/ikhlas017 | FB: https://web.facebook.com/ikhlas.elqasr | Youtube: https://www.youtube.com/c/ikhlaselqasr

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bi Jaromah

7 Mei 2019   12:07 Diperbarui: 7 Mei 2019   12:18 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: binadesa.org

Semula, iring-iringan pipit masih bernyanyi menyambut pagi. Menari ria di atas hamparan sawah para petani. Arak-arakan awan putih masih hilir mudik meniti hari. Menemani mentari yang mulai merangkak dari peraduannya.

Namun, angin datang tanpa memberi kabar. Riuh gemuruh menandai kencang embusannya. Awan-awan pun berubah menjadi hitam, terarak sedemikian rupa, lalu berkumpul di satu titik, tepat di atas ubun-ubun Bi Jaromah yang sedang menyiangi rumput di pematang.

"Duh, Gusti, terlalu cepat kau menyudahi hari," keluhnya.

Bagi sebagian petani, hujan adalah waktu istirahat dari aktifitas bertani. Namun bagi Bi Jaromah, hujan membuat pendapatannya berkurang. Bagaimana tidak, tanah yang ia garap adalah milik orang lain. Ia hanya mengambil upah atas pekerjaannya. Belum lagi hari ini ia harus ke pasar, menjajakan sapu lidi yang ia cari di hari kemarin.

Bi Jaromah hanya hidup bersama seorang cucu. Ia ditinggal mati oleh suami dan seorang anak laki-lakinya yang meninggal karena penyakit. Sedangkan ibu dari cucunya itu pergi entah ke mana.

Benar saja, hujan turun setitik demi setitik, lalu berubah menjadi serbuan air yang begitu deras. Bi Jaromah benar-benar tak berdaya melawan alam. Ia mematung di pondok memandangi sawah yang baru setengah ditanami.

Setelah berjam-jam, hujan belum juga reda. Air yang menggenangi sawah, perlahan mulai naik hingga membuat pematang tenggelam. Sontak membuat Bi Jaromah panik bukan kepalang. Sebab akan banyak kerusakan pada padinya. Bahkan mengakibatkan kerugian besar bila padi yang baru ditanam itu, tercerabut lalu diseret air bah.

Perempuan paruh baya yang dipenuhi guratan kerasnya kehidupan di wajahnya itu pasrah menerima kenyataan. Hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Sedangkan tanaman padinya tenggelam dan sebagian telah terseret air bah. Namun ia berharap, kerugian yang didapatkan ini, mendapat ganti yang lebih baik lagi.

***

Seminggu telah berlalu, air sawah pun telah surut seperti semula. Namun menyisakan berbagai kerusakan. Bi Jaromah memberanikan diri berhutang bibit padi di koperasi. Kemudian langsung menyemainya.

Sementara menunggu padi bertumbuh, setiap hari ia giat menggarap pematang untuk ditanami singkong, kangkung dan berbagai jenis sayuran lainnya. Agar semisal padi yang ditanam ternyata gagal panen, ia masih bisa melanjutkan hidup dengan menjual sayur-sayuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun