Fenomena anak pejabat maju mencari "peruntungan" dalam kontestasi politik seperti pileg dan pilkada itu hal yang lumrah dan manusiawi dalam era demokrasi.
Yang paling kasat mata apa yang disebut dinasti penguasa Banten. Dari Gubernur, Walikota, Bupati, DPRRI, DPDRI mungkin juga sampai DPRD kota/Kabupaten (silahkan ditelusuri).
Lalu apakah itu salah?
Tentu tidak karena tidak ada Undang-undang yang melarang istri/suami, anak, saudara hingga menantu untuk memegang jabatan politik melalui proses pemilihan.
Memang pernah ada wacana membatasi/mencegah politik dinasti tapi gagal dalam pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan argumentasi untuk menghormati hak politik setiap warga negara.
Mahkamah Konstitusi melalui sidang pembacaan putusan perkara nomor 33/PUU-XIII/2015 menganggap aturan yang melarang seorang calon kepala daerah berkonflik kepentingan dengan petahana bertentangan dengan konstitusi.
Para hakim MK memutuskan, Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Hakim MK berpendapat, pasal 7 huruf r memberikan perbedaan perlakuan terhadap warga negara yang ingin ikut serta dalam proses demokrasi, semata-mata karena status kelahiran dan kekerabatannya dengan petahana.
Dengan realitas seperti itu apakah kemudian memungkinkan kualitas demokrasi semakin baik?
Partai politik yang diberi amanat oleh undang-undang untuk menyelenggarakan proses kaderisasi pemimpin adalah yang paling bertanggungjawab untuk melahirkan pemimpin yang berintegritas, cakap dan mampu menyelenggarakan pemerintahan/sistem bernegara.
Diluar partai politik, peran serta lembaga survey yang kredibel juga turut menentukan kualitas demokrasi dengan menyajikan layanan data obyektif dan opini pembentuk persepsi masyarakat.
Karena bagaimanapun ketika partai politik menentukan calon kepala daerah mempertimbangkan hasil survey.
Majunya Gibran, putra sulung presiden Jokowi dalam kontestasi pilkada Solo 2020 yang akan digelar nanti 9 Desember 2020 saya nilai sebagai fenomena yang biasa saja.
Apalagi saya lihat memang Gibran punya niat sendiri maju.