Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berharap Pembantu Presiden yang Progresif

22 Juli 2019   17:06 Diperbarui: 23 Juli 2019   11:06 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instagram/Karyaadalahdoa

"Mengadili, menyatakan, dalam eksepsi menolak eksepsi termohon dan pihak terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan: menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya."

Demikian akhir dari drama perselisihan hasil pemilu pilpres 2019 yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman sehari sebelum batas waktu sidang pengambilan keputusan, pada tanggal 27 Juni 2019.

Dengan ditolaknya seluruh gugatan pasangan Capres cawapres Prabowo-Sandi maka penetapan hasil perolehan suara KPU untuk kemenangan pasangan Jokowi-Maruf 55,50 persen atau 85.607.362 telah sah dan mengikat.

Sementara perolehan suara Prabowo-Sandi sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen. Selisih suara kedua pasangan mencapai 16.957.123 atau 11 persen.

Pasangan Jokowi-Maruf menang di 21 provinsi yakni Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat,Gorontalo, Maluku, Papua Barat dan Papua.

Jika melihat peta wilayah/provinsi, dibanding pilpres 2014 Jokowi kehilangan kemenangan di Jambi, Bengkulu, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Sementara Gorontalo yang tahun 2014 kalah kini pilpres 2019 menang untuk Jokowi.

Dari jumlah prosentase secara nasional kemenangan Jokowi naik dari 53,15 persen menjadi 55,50 persen. Idealnya seharusnya kemenangan diangka 57 - 60 persen. 

Kenaikan yang hanya 2 persen lebih, sebagai seorang petahana ditengah gencarnya pemerintahan Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, regulasi dan deregulasi di sektor keuangan, pajak, investasi serta kemampuan pemerintah menjaga tingkat pertumbuhan ditengah krisis ekonomi global tentu bukanlah potret yang memuaskan. Jika dianalisa secara mendalam artinya ada yang salah dalam 5 tahun terakhir ini.

Kesalahan yang dimaksud kami identifikasi sebagai berikut:

1) Pembiaran hoax serta gagap memberlakukan UU ITE sehingga dampaknya terlanjur meluas meracuni pikiran berbagai segmen dan kelas masyarakat

2) Pemerintah sangat mentoleransi/membiarkan gerakan-gerakan atas nama keagamaan/politik identitas sejak gerakan "wiro sableng" dan kode-kode togelnya sehingga makin lama menjadi alat supremasi diatas hukum. Seolah-olah hukum adalah kelompoknya lalu mengintimidasi orang-orang yang tak sejalan dan menyebar fitnah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun