Pagi yang cerah, suara burung kenari merah mengiringi kericuhan yang terjadi di kamar Rhea. Jadwal presentasi penting dengan salah satu klien perusahaan hari ini membuat ia harus berlama-lama membelalakan mata di hadapan laptopnya  yang berpendar hingga dini hari tadi. Alhasil, semua hal yang ia lakukan pagi ini tidak seperti semestinya. Ia bergegas menuruni tangga sambil menjinjing high heels-nya diantara teriakan tak sabar kakak laki-lakinya, Leindra.
"High Heels? Gak salah?" Leindra menengok jam tangannya. "Sudah lihai berlari pakai benda itu? Flat shoes lagaknya lebih baik." lanjutnya.
"Berisik!" Rhea sewot. "Ini presentasi pertama pasca promosiku, aku harus memberikan impresi yang baik."
Leindra menatap high heels yang kini dipakai adiknya, lalu menaikan bahunya acuh.
***
Leindra mengetuk-ngetukan telunjuknya di atas setir mengikuti hentakan drum Jimmy Chamberlin yang keluar dari pemutar CD-nya. Sementara kepala Rhea sibuk menengok ke kiri, kanan, depan, dan belakang. Â Tidak biasanya jalan yang selalu di laluinya ini macet. Â Rhea menggigit bibirnya.
"Lei, aku turun disini."
"Serius? sebentar lagi juga terurai macetnya." Leindra melirik adiknya.
"Sudah telat." Â Gadis berpotongan rambut shaggy itu turun dengan tergesa.
Rhea berjalan setengah berlari di trotoar yang ramai. Nafasnya memburu, kakinya sakit, dan betisnya pegal namun, semua penderitaannya itu berakhir sudah ketika ia berhasil menjejakkan kaki di pintu gerbang kantornya yang menganga lebar. Rhea menghembuskan nafas lega seiring dengan jatuhnya beberapa butir keringat di dahinya. Baru saja kakinya akan melangkah masuk, ada sebuah teriakan nyaring dari arah belakangnya.
"Rhe." Rhea menjelau ke arah suara itu. Diantara tawanya Leindra melambaikan tangan dengan santai di atas kendaraanya yang melaju pelan. Rhea mendengus. Lelah dan kesal.
