Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Di Titik Nol Kilometer

27 Mei 2016   14:12 Diperbarui: 27 Mei 2016   18:00 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : kfkkompas

Kembali.

Tidak ada hal yang paling ditunggunya selain kembali ke kota ini. Kota yang selalu membuat kakinya terasa berat untuk melangkah pulang. Kota yang selalu membuatnya enggan untuk hanya duduk diam.

***

Freya menatap lalu-lalang kendaraan di depannya. Matahari telah condong ke arah barat, namun tidak menggoyahkan suhu udara yang masih terasa membakar kulitnya. Peluh mengalir bagaikan aliran sungai dari hulu ke hilir, menyelinap di antara kulit dan T-Shirt putih yang dikenakannya. Asap knalpot yang menguar dari beraneka macam kendaraan tidak menggoyahkan posisinya untuk tetap berdiam di tempat itu.

Dua puluh menit sudah Freya duduk di sana, menunggu seseorang yang tak kunjung tiba. Sementara itu sebuah andong yang ditarik oleh kuda bersurai indah dan bertubuh gagah baru saja melintas di depannya.

Freya tersenyum.

Ia pernah duduk di belakang sais berblangkon dan bersetelan lurik itu. Menikmati sore dengan menyusuri jalanan kota yang tidak begitu ramai, bersamanya. Ya, hanya bersamanya, seseorang yang ia panggil Enda.

Freya menengok jam tangannya yang serupa dengan charm bracelet. Bandul-bandul kecil dalam beberapa bentuk menggantung lemas di sekeliling pergelangannya, menghasilkan bunyi gemerincing bila ia menggerakkan tangannya dengan kuat.

"Baru kali ini dia terlambat," gumamnya resah.

Angin berdesau mengibarkan helaian rambutnya yang ia biarkan tanpa ikatan. Semerbak wangi shampo lidah buaya yang masih bertahan di rambut hitamnya menyapa hidung yang penat akan polutan jalan raya dan rasa yang tak karuan karena Enda.

Freya menekan perutnya yang terasa melilit, ia ingat dari pagi tadi ia sama sekali belum menyentuh apa pun yang disebut makanan. Hati senang membuatnya merasa selalu kenyang. Tenggorokannya hanya sibuk dialiri air. Entah berapa liter air yang telah ia teguk. Ia tak pernah menghitung barang secuil pun karena pikirannya terlalu sibuk memikirkan Enda yang berjanji akan menemuinya di tempat ini. Tempat yang kerap mereka jadikan pelabuhan untuk membuang sauh, melepas lelah setelah seharian berjalan-jalan keliling kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun