Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Izin Itu Penting, Kawan!

17 Juli 2018   16:26 Diperbarui: 18 Juli 2018   16:33 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : gramrix.com

Kala itu sepertinya perasaan saya bagaikan perasaan Kak Desy Ratnasari yang tak percaya ketika melihat sebuah tenda biru berdiri di depan rumah, entah rumah siapa. Bila Kak Desy bertanya-tanya itu pernikahan siapa, maka saya bertanya-tanya mengapa pernikahan tersebut berlangsung di hari ke-2 lebaran.  Ya, di Kuningan, menggelar hajatan setelah hari lebaran adalah hal yang lumrah. Acara pernikahan memang biasanya banyak dihelat di bulan syawal, mungkin satu atau dua minggu setelah lebaran, namun tidak halnya di Desa Bandorasa Kulon, Kuningan. 

Di desa yang berada di kaki gunung Ceremai itu banyak acara hajatan baik pernikahan atau khitanan dilakukan di minggu yang sama dengan perayaan lebaran.  Alasan yang mengemuka adalah karena penduduk sekitar sana banyak yang merantau sehingga saat lebaran adalah waktu yang cocok untuk mengundang sanak saudara dan tetangga untuk ikut merayakan syukuran dimana saat itu semua orang berkumpul di kampung halaman.

Berbeda dengan di kampung saya, baru minggu-minggu sekaranglah banyak beredar kartu undangan.  Janur kuning berhias sterofoam pun mulai terlihat dimana-mana, termasuk di depan rumah saya, janur kuning entah milik siapa. Pagi hari, saya dikejutkan oleh sebuah janur kuning berhias sterofoam berbentuk hati berwarna pink fanta yang mencolok mata di salah satu dahan pohon mangga yang ditanam oleh mendiang kakek saya dan sudah selama puluhan tahun bercokol di halaman.

Sebentuk hati itu terombang -ambing di tiup angin yang entah jenisnya apa, entah muson, darat, laut, lembah atau fohn. Di permukaan hati yang bentuknya agak lonjong telur itu ada dua buah nama yang terukir indah saling berhadapan, menandakan kebahagiaan yang sedang berkecamuk dalam hati kedua mempelai.

Dikau bahagia aku merana, begitu kata Kak Desy. Bagaimana tidak, entah siapa yang berbuat, panitia, orangtua atau tetangga, mereka sama sekali tidak meminta izin dulu ke si pemilik pohon mangga.  Apa susahnya sih meminta izin, bukan di kecamatan juga kalik yang birokrasinya mutar-muter gak karuan kayak komedi putar yang mesinnya di-hack remaja jail di film Beethoven.

Sebelum manjat pagar dan memasang aksesoris kawinan itu kan dia cukup mengetuk pintu atau kulo nuwun gitu, toh saya juga gak bakal ngelarang, semua hanya soal perizinan dan tata krama aja sih. Bukan apa-apa, ini kan menyangkut teritori orang lain, mau masuk area 51 juga kan perlu izin, seterkenal Indiana Jones sekalipun. Parahnya saya sama sekali tidak kenal dengan si keluarga yang sedang hajatan ini, orang mana, rumahnya dimana, semalam berbuat apa? Eh kok jadi Yolanda haha.

Boro-boro ada undangan bergambar dua orang berfoto narsis di halaman mukanya, sebentuk nasi dus yang di atasnya ada ucapan syukur alhamdulillah atau satu rangkaian rantang berisi sate, gule, gepuk, dan tumis cabe gendot, orang manusianya aja saya gak tahu yang mana. Sudah tidak terkenal, tidak memberi undangan atau rantang, ditambah melanggar wilayah orang, duh.

Menggantungkan sesuatu di halaman rumah orang tanpa izin itu ibarat dengan sengaja mencorengkan kosmetik abal-abal yang mengandung merkuri ke wajah seorang wanita yang telah bersusah payah mengorbankan uang, waktu, tenaga, dan hati yang luka untuk pergi ke sebuah klinik kecantikan berjudul Nanasha. Gak sopan.

Maka dari itu, saya pun segera beraksi, layaknya komandan Satpol-PP mempreteli banner-banner parpol dan iklan tanpa izin di pepohonan yang sangat menganggu keindahan wilayah sekitar. Dengan sukses, saya mencabut si hati yang masih saja terombang-ambing kian kemari tanpa kepastian itu. Hak saya dong mencabut sesuatu yang tanpa izin. Pohon-pohon punya saya, lagian inikan hajatan, acara suka-suka, bukan kibaran bendera kuning tanda duka cita.

Tak lama, datanglah seseorang, dengan senyum terkembang meminta izin untuk menggantungkan kembali si hati yang kini bersandar di bawah gapura. Entah gosip darimana, sampai ia datang secepat itu, atau angin memang bisa berbisik seperti halnya yang terjadi di film Narnia. Dia beralasan bahwa saat itu dia tengah sibuk sehingga tidak bisa minta izin dulu. Tidak bisa atau tidak mau itu tipis banget batasnya ibarat hemat dan pelit hihi.

Akhirnya pagi itu saya isi dengan acara ceramah  tentang perizinan dan sampah yang ditimbulkan akibat pemasangan si hati yang merupakan jenis sampah abadi. Dia pun manggut-manggut, mungkin sambil mengepalkan tinju di belakang punggungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun