Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Tawa buat Jojo

23 April 2018   16:35 Diperbarui: 23 April 2018   17:13 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : www.flickr.com

Setengah dekade sudah aku menjadi pengagum rahasianya, selama kurun waktu itu hanya bayang-bayangnya yang bisa aku gapai.  

Semuanya semu namun aku tetap menunggu.

***

Aku sama sekali tak mengenalnya, yang aku tahu bahwa dia begitu memesona ketika berjalan melintasi terminal kota yang dipenuhi dengan asap knalpot, teriakan kernet, calo, penjaja asongan serta jerit klakson dengan kekuatan beberapa desibel yang terkadang membuat telingaku terkapar lunglai.

Dia bagai oase di gurun pasir tandus, menyegarkan mataku yang tengah dahaga diantara kerling sebal kernet angkutan umum yang tak jua berhenti menawariku untuk menaiki kendaraan majikannya.

Namun ternyata oase itu hanyalah fatamorgana, dan celakanya dua tahun adalah waktu yang sangat memilukan bagi seorang gadis untuk menunggu satu kata sapa layaknya "Hai" dari seorang pemuda yang begitu bersinar diantara butiran debu dan gumpalan asap yang menyelimuti mata..

***

Lumpia basah ditanganku telah tandas, meninggalkan rasa pedas yang menetap di lidah. Sementara itu sebuah gerobak berisi es teh yang terbungkus rapi didalam plastik-plastik berkaret gelang dengan sedotan tersembul dari dalamnya melambai riang. Namun aku bergeming, minuman yang kemasan plastiknya berembun itu tidak akan menjadi penghalang rutinitasku menanti dia.

Seragam putih biruku pun memudar ditelan ketidakpastian akan seseorang yang selalu membuat kaki ku melangkah tergesa seusai bel sekolah berbunyi. Walau terdengar perih namun aku cukup senang dengan semua hal yang aku lewati kala itu. Merasakan anehnya degub jantung yang berderap tak beraturan, menikmati syaraf-syaraf mata yang menegang, serta meratapi kerut-kerut halus di ujung bibirku yang tak jua bersambut. Dan semua ketragisan nan indah itu harus berakhir dengan bergantinya warna biru menjadi kelabu. Keperihan disambut dengan kesuraman, apakah tak ada yang lebih membahagiakan dari itu?

Ternyata aku salah, kesuraman tak sudi menemuiku. Warna kelabu itu telah mempertemukanku kembali dengannya. Tak hanya 5 menit seperti dulu, namun berlipat ganda karena aku dan dia ada dalam satu sekolah yang sama. Namun sekolah yang sama tak membuatku mendapatkan kata "Hai" yang aku damba.

Ratapan pedih dan nyanyian bahagia bersatu padu menemani kesendirianku duduk di bangku yang menghadap lapangan basket dimana ia memainkan bola bundar itu dengan lincah. Kanan kiri depan belakang secara tak beraturan, bola basketnya terpontal-pontal bagai perasaan hatiku selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun