Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Bingo!

19 Oktober 2017   16:52 Diperbarui: 10 April 2020   16:15 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Dailymirror

Pemotretan kali ini sungguh melelahkan. Sang fotografer yang sangat perfeksionis itu menghajarnya habis-habisan dalam berbagai gaya demi satu pose yang menurutnya pas untuk menghiasi cover majalah yang akan terbit beberapa hari di muka.

Lennon terengah menaiki tangga menuju kamarnya setelah sebelumnya melepaskan diri dari kejaran rinai hujan yang semakin lebat dibelakangnya. Ia ingin segera merebahkan tubuh pegalnya di atas ranjangnya yang empuk lagi hangat. Meluruskan persendiannya sambil menikmati suara hujan dan petir yang menyambar di luar sana.

Baru saja ia akan memejamkan matanya, pintu kamarnya dibuka dari luar dan tersembulah sebuah kepala.

"Seseorang akan kena damprat hari ini." Si kepala tersembul mengacungkan ponselnya yang berhias foto Lennon di akun instagramnya.

Lennon diam tak menghiraukan perkataan adiknya.

Gene menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang besar itu, lalu memantul-mantulkan dirinya seakan berada di atas trampolin.

"Apa yang kakak pikirkan? Mengapa kakak menerima tawaran itu?" Tanya Gene penasaran.

"Memangnya kenapa? Itu bukan perkara besar."

"Woooo, kakak lupa?  Mereka rival."

"Ya, dua puluh tahun yang lalu. Sudah lama." Lennon mengganjal kepalanya dengan bantal bulu angsa dan urung terlelap.

"Bukan lamanya, tapi ini semua menyangkut rasa."

Lennon tersenyum masam. "Hmm, rasa. Setahuku, Papa tak memiliki banyak rasa yang tersisa dalam hidupnya."

Gene mengerutkan keningnya, meminta penjelasan lebih.

"Mama ku, Mama mu, Oom Noel, itu buktinya." lanjut Lennon santai.

"Dia memiliki rasa untuk kita."

"Well, mungkin itu bagian kecilnya saja."

"Kakak terlalu ekstrim. Dia Papa kita, kak."

"Aku tak pernah mengingkarinya," Lennon berguling.

"Aku hanya ingin Papa menghadapi kenyataan walau sepahit apapun itu. Masanya sudah berakhir. Dia bukan lagi seorang superstar yang bisa melakukan atau memberi pernyataan gila namun tetap dipuja." lanjut pemuda berusia 17 tahun itu.

***

"Lennon." Sebuah teriakan cempreng nan menggelegar terdengar dari bawah tangga.

"Nah kan, apa aku bilang." Gene beranjak dari ranjang dan keluar kamar segera.

Lennon waspada, bagaimana pun juga, sang old man memiliki taring yang setiap hari ia asah agar selalu runcing dan menjadi senjata bagi siapapun yang membuat harinya tak karuan.

Pintu kamarnya dibuka dengan kasar.

"Batalkan ini atau Papa sendiri yang datang kepada mereka untuk membatalkannya." Sang Papa mengacungkan ponsel yang masih berpendar di tangannya yang kekar.

Lennon menatap mata kelabu Papanya yang terlihat dipenuhi amarah.

"Aku sudah menandatangani kontraknya Pa. Papa tahu kan apa konsekuensinya bila aku membatalkan semua itu."

Papanya mendesah.

"Karirku pasti akan terjun bebas, tak akan ada lagi yang memakaiku. Aku akan berakhir, padahal aku baru saja mulai." Lennon melemparkan pandangannya ke arah jendela kamarnya yang berembun.

"Kamu sadar tidak, bila kamu telah diperalat oleh majalah itu demi keuntungan mereka semata?"

Lennon menggeleng.

"Aku menyukai mereka Pa."

Papanya tersenyum pahit.

"Menyukai? Bahkan kamu tak tahu mereka itu apa dan bagaimana?"

Lennon beranjak dari duduknya, menuju lemari tempat ia menyimpan semua buku dan barang-barang rahasianya lalu membuka pintunya lebar-lebar.

Papanya terbelalak. Sebuah pemandangan yang luar biasa menyesakan dada mengolok-oloknya tanpa ampun. Dengan segera tangan kekarnya membanting pintu lemari itu.

"Huh, terlalu banyak bergaul dengan Noel."

"Om Noel memberiku banyak referensi, salah satunya adalah mereka. Dan ternyata aku menyukai mereka. Kemarin aku diajak Om bertemu mereka dan mereka menyambutku dengan tangan terbuka."

"Ya, karena mereka tahu apa yang akan kamu lakukan. Foto kamu ini akan mendongkrak kembali nama mereka yang telah tenggelam." Papanya berkata keras, giginya bergemeletuk.

"Maafkan aku Pa, tapi aku ..." Lennon menundukkan kepalanya.

"Sudah terlambat, sebentar lagi Papa pasti akan dicecar pertanyaan-pertanyaan tak bermutu yang mengesalkan." Papanya mendengus.

"Papa kecewa!."

Lennon menunduk lebih dalam.

"Kamu dihukum."

***

Lennon tak habis pikir, mengapa Papanya  itu selalu berang bila ada anggota keluarganya yang menyinggung-nyinggung nama itu, nama yang tertera pada T-shirt yang ia gunakan ketika pemotretan kemarin ini. Bahkan, hubungan Papa dengan pamannya pun menjadi buruk salah satunya dikarenakan  hal-hal yang semestinya telah ia lupakan.

"Aargghh." Lennon menenggelamkan kepalanya diantara bantal bulu angsanya dan mulai terlelap.

***

Lennon menyendoki Omelet Arnold Bennet-nya sedikit demi sedikit ke dalam mulutnya.  Rasa telur yang bercampur dengan ikan haddock asap, keju gruyere dan saus hollandaise itu tidak semenarik biasanya.  Lidahnya terasa hambar.  Tiga hari sudah ia hanya diperbolehkan berada di dua tempat, sekolah dan rumah.  Sungguh hari-hari  yang membosankan.  Sementara itu suara derap sepatu boots terdengar dari arah punggungnya, semakin lama semakin jelas.

"Hey Kak, lihat, wajah kusut Papa ada di mana-mana." Gene meletakkan ponselnya di hadapan Lennon.

Lennon menengoknya sebentar lalu menggeser benda itu ke arah adiknya. 

Ia merasa tak enak hati melihat Papanya dicecar media karena fotonya itu. Tapi apakah salah bila ia menyukai sesuatu yang tidak disukai Papanya. Bukankah ia memiliki hak untuk menyukai apapun di dunia ini.

Lennon kembali teringat akan perkataan pamannya beberapa waktu lalu. 

"Kami dan mereka memang rival saat muda dulu, kami selalu dibanding-bandingkan oleh media.  Dan itu membuat kami muak.  Namun, itu sudah usang, Om anggap itu hanya bumbu kepopuleran."

Namun perkataan itu tak jua menenangkannya.  Akhirnya ia hanya bisa pasrah, ia akan menerima apapun hukuman (lagi) yang Papanya akan berikan nanti karena telah merepotkannya.

"Kakak gak penasaran dengan apa yang dikatakan Papa disini?" Gene kembali menggeser ponselnya.

Lennon menatap adiknya, lalu menggeleng. "Aku telah mengacaukan semua, aku merasa bersalah, tidak hanya kepada Papa, tapi juga kepada Om Damon.  Pertengkaran mereka pasti akan makin meruncing.  Dan semuanya gara-gara aku, dik."

"Wah wah, gak perlu tes DNA untuk membuktikan bahwa Kakak adalah anaknya Papa.  Sama-sama sensitif." Gene tergelak.

"Dengar nih Kak, disini Papa bilang bahwa kakak itu menarik, tampan, dan bla ... bla ..bla ... yang diturunkan dari siapa lagi kalau bukan dari Papa."  Gene kini terbahak.

"Terus, Papa bilang lagi bahwa, setiap orang memiliki kesalahan dalam berbusana dan yang kakak lakukan ini adalah salah satunya. " Gene kembali tertawa.

"Aku pikir Papa tak akan menghukum kakak lagi.  Yah, bagaimanapun juga, foto kakak ini memiliki andil yang lumayan besar bagi karir Papa."  Gene tersenyum lebar kepada kakaknya.

"Maksud kamu?"

"Album solo Papa yang akan rilis beberapa hari lagi itu mendapatkan ajang promosi cuma-cuma karena semua berita ini."

Lennon mengerutkan dahinya.

"Secara gak langsung, kakak telah mendongkrak nama Papa ke permukaan."

Dua bola mata Gene kini sibuk memperhatikan layar ponselnya sementara ibu jarinya bergerak lincah, dari kiri ke kanan, atas dan ke bawah.

"Coba lihat nih Kak, semua artikel yang ditulis di sini pasti diakhiri dengan berita proyek album solonya Papa. Bingo!"

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun