Mohon tunggu...
ika nurafifi
ika nurafifi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kenapa Harus Korupsi?

15 Mei 2019   07:18 Diperbarui: 15 Mei 2019   14:09 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendengar kata korupsi tentu kita sepakat bahwa korupsi adalah perbuatan yang telah menghasilkan banyak kesengsaran bagi rakyat Indonesia. Korupsi secara kosakata berasal dari kata corruptio atau corruptus (bahasa latin ). 

Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah corruption atau corrupt. Secara harfiah korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain. Sedangkan kata "korup" dapat bermakna buruk, busuk, rusak, suka memakai uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaanya) untuk kepentingan pribadi.

Korupsi terjadi karena penyelewengan terhadap standar-standar etis mengenai perilaku yang diharapkan. Menurut Brasz (Dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, 1995: 2-8) korupsi tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan, karena korupsi adalah hasil praktek kekuasaan tanpa aturan hukum, dimana kekuasaan digunakan untuk tujuan lain selain tujuan yang telah ditetapkan dalam kekuasaan yang telah dilimpahkan. Yang terpenting menurut Brasz korupsi adalah pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan dalih menurut hukum. 

Dalam istilah hukum korupsi merupakan bagian dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir). Korupsi sebagai gejala yang universal, sudah ada sejak ratusan tahun lalu yang timbul karena ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk menahan hawa nafsu dan ketamakannya untuk memperkaya diri sendiri. Ketamakan ini didukung oleh adanya sistem akuntabilitas pemerintahan yang lemah.

Sementara menurut Krisna Harahap (2009: 9-13) korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat karena adanya sejumlah faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal mencakup dua hal yaitu adanya dorongan kebutuhan (corruption by needs) dimana seseorang berbuat korup karena terpaksa akibat desakan kebutuhan (misalnya gaji yang diterima tidak mencukupi) dan dorongan ketamakan (corruption by greeds), dimana orang melakukan tindakan korup bukan karena desakan kebutuhan melainkan karena keinginan untuk hidup mewah. 

Faktor eksternal antara lain adalah lingkungan yang mendukung misalnya sikap permisif masyarakat terhadap tindakan korupsi. Disamping itu juga adanya peluang untuk melakukan korupsi karena pengawasan yang tidak memadai. Sikap permisif masyarakat terhadap korupsi yang meluas memang sebuah tantangan yang berat.

Kecenderungan sikap masyarakat ini tidak lepas dari budaya materialistik yang mengukur keberhasilan seseorang dari kekayaan yang dimilikinya tanpa melihat asal muasal kekayaan didapatkan.

Korupsi pada era Orde Baru telah menjadi patologi birokrasi, penyakit takut yang mewabah mulai dari pemerintahan di level nasional sampai ke pemerintahan yang paling rendah di tingkat desa. 

Manipulasi, kolusi, bahkan kemudian menjaditindakan yang diterima sebagai sebuah kewajaran. Oleh karena itu korupsi di Indonesia ditengarai telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. 

Sikap masyarakat pun menjadi permisif dan toleran terhadap tindakan korupsi. Inilah yang menyebabkan tindakan korupsi begitu massif. Jika pada mulanya korupsi banyak dilakukan dalam ranah negara (state), maka sekarang korupsi juga mewabah di kalangan masyarakat (society). 

Dalam ranah negara birokrasi dan juga jabatan-jabatan politik menjadi sumber dan sarang korupsi yang menyebabkan hilangnya uang negara beitu banyak. Namun yang tidak kalah penting adalah korupsi juga meluas dalam ranah masyarakat baik melibatkan pelaku ekonomi (economic society) maupun masyarakat sipil (civil society). 

Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana negara harus kehilangan dana segar triliunan rupiah dalam kasus BLBI, yang sampai saat ini pelakunya pun masih bebas menikmati uang jarahan di berbagai negara.

Jerat korupsi ini juga menjadi hambatan bagi pemerintah untuk mrmpraktekan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Tata kelola pemerintahan yang baik sampai saat ini masih jadi sebuah harapan. Reformasi birokrasi sebagai pintu masuk untuk terwujudnya tata kelola yang baik juga masih belum menemukan bentuknya.

Budaya anti korupsi sebagai nilai baru adalah sebuah kebutuhan mutlak yang harus ditumbuhkan. Belajar dari pengalaman negara lain yang berhasil melakukan penanganan korupsi secara baik, menurut Hamzah (2005:5) bukan ancaman pidana yang luar biasa beratnya yang diutamakan, tetapi sistem manajemen negara yang rawan korupsi harus ditanggulangi lebih dahulu sebelum mengambil tindakan represif.

Institusi-institusi yang rawan terjadinya pembocoran dana harus ditata terlebih dahulu bagaimana standar pengelolaanya untuk bisa meminimalkan kebocoran. Sistem preventif harus diutamakan daripada sistem represif. 

Langkah ini tentu tidak mudah karena terlalu banyaknya jumlah orang yang terlibat dan korupsi sudah merasuk terlalu jauh ke dalam kehidupan masyarakat dan negara. Oleh karena itu membangun budaya baru yaitu budaya anti korupsi adalah sebuah pilihan tepat, meskipun membutuhkan waktu yang lebih panjang. 

Untuk kebutuhan ini tentu menjadi sangat penting melibatkan keikutsertaan rakyat dalam memerangi korupsi, yang dimulai dengan meningkatkan kesadaran hukum juga pendidikan tentang bahaya yang akan terjadi jika korupsi tetap meluas.

Sebagai bangsa yang besar dengan segala potensinya, Indonesia harus terus dipermalukan oleh korupsi yang telah merajalela. Label sebagai Negara yang korup masih harus disandang sejak puluhan tahun, bahkan ketika kita masuk di era reformasi. Karena korupsi kita sebagai bangsa dipandang sebelah mata karena selalu hidup dalam kemiskinan. 

Oleh karena itu untuk keluar dari jerat korupsi dibutuhkan sebuah gerakan yang kolosal dan sistemik untuk perang melawan korupsi. Korupsi yang sudah mengakar hanya dapat diperangi dengan cara-cara yang fundamental, termasuk melakukan revitalisasi standar- standar etis agar nilai- nilai untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan hina (seperti korupsi, mencontek, plagiat) bukan hanya sekedar slogan, tapi mengkristal dalam setiap sanubari manusia Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun