Mohon tunggu...
Ika Y. Suryadi
Ika Y. Suryadi Mohon Tunggu... -

Learner - Writer -Semua yang di atas tanah adalah tanah-

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Taman Literasi dan Orkestra

30 September 2015   23:59 Diperbarui: 30 September 2015   23:59 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“Sebuah kota mampu mematahkan hatimu, tapi juga mampu melahirkan cinta untukmu.” Begitu yang Dian Nafi nyatakan dalam bukunya yang berjudul, Cerita Cinta Kota. Tidak ada salah dari ungkapan tersebut, sebab disadari atau tidak, sebuah kota memang mampu memengaruhi penghuninya. Kota menjadi wadah seluruh elemen masyarakat untuk bisa menemukan siapa mereka dan untuk apa mereka berada di kota tersebut. Jika sebuah kota sudah dicintai, maka para pecinta akan melakukan apa saja untuk menjaga kotanya. Tentu saja, setelah itu mereka akan menolong negeri ini.

Tuntutan masyarakat perkotaan yang harus hidup serba cepat sekaligus sarat terhadap rasa frustasi yang rindu the good society, seharusnya dapat dinetralisisir dengan perangkat ruang publik yang ada di sekitar mereka. Ruang publik yang memberikan kontribusi secara materil dan moril, yang tak hanya demokratis tetapi juga bermakna.

Menurut Project for Public Spaces in New York tahun 1984, ruang publik adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte) dan museum. Merujuk pada undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan pada pasal 28 yang menegaskan perlunya Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan di kawasan perkotaan. Tetapi, hal tersebut menjadi sulit ketika dihadapkan pada ketersediaan lahan yang terbatas. Untuk itu diperlukan pemanfaatan bangunan lama atau tempat yang sudah ada namun belum memiliki fungsi yang efektif.

Dalam Ruang Publik: Antara Harapan dan Kenyataan, Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis berarti masyarakat umum dari berbagai latar belakang berbeda dapat menggunakan ruang pubik tersebut. bermakna memiliki arti ruang publik memiliki ciri khas dan tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat perbelanjaan.

Menelisik pada kondisi ruang publik saat ini, rupanya ruang publik cenderung bersifat residual yang hanya digunakan untuk parkir kendaraan, kegiatan perdagangan sehingga ruang publik menjadi salah fungsi, sepi, kosong atau malah dirusak. Padahal, banyak hal yang seharusnya dapat dimanfaatkan dari keberadaan ruang publik sebab tujuan ruang publik sebenarnya bukanlah sebagai sekadar penghias kota melainkan sebagai wadah aspirasi masyarakat. Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah dan masyarakat kita sendiri.

Komprehensif

Idealnya, ruang publik kota dapat menunjukkan identity atau ciri khas kota itu sendiri. Ciri khas yang dapat menarik perhatian masyarakat untuk singgah lalu mencintai ruang publik tersebut. Karena bagaimanapun, mall atau pusat perbelanjaan yang pengunjungnya cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu tak akan mampu menjadi ruang publik yang utuh.

Pertama dan paling utama, pemerintah perlu mengoptimalkan fungsi semua wilayah perkotaan tanpa terjebak pada spesialisasi ruang yang cenderung fokus hanya pada satu fungsi tertentu dengan jam operasional yang dibatasi, seperti museum dan perpustakaan. Mengetahui ada orang yang menunggu perpustakaan buka adalah satu hal menyenangkan yang langka di negeri ini, termasuk di kota penulis, yakni Jambi. Diberitakan bahwa Perpustakaan kota Jambi seperti rumah hantu yang sepi pengunjung.[2] Hal tersebut juga dibuktikan langsung oleh penulis ketika berkunjung ke perpustakaan. Hal ini menyiratkan bahwa keberadaan perpustakaan selama ini hanya menjadi sekadar ‘ada’ atau hanya sekadar mencukupi daftar inventaris kota tanpa ada follow up berupa program kreatif untuk ikut mencerdaskan masyarakat. Hal tersebut membuat perpustakaan kota tak lebih dari gedung-gedung tua yang pongah dan membosankan. Didatangi mahasiswa hanya ketika diberi tugas dosen atau urusan skripsi-disertasi. Didatangi siswa jika ada program belajar dari sekolah. Hal itu juga membuat perpustakaan daerah ataupun wilayah Jambi selalu terlihat stagnan dari tahun ke tahun.

Seperti yang pernah dikatakan Hikmat Kurnia, Direktur Agromedia, bahwa selama ini masyarakat merasa ‘seram’ ketika mendengar frasa ‘membaca buku’ karena ketika kecil buku pertama yang diperkenalkan adalah buku pelajaran. Terlebih lagi, berdasarkan survey, minat membaca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah yakni hanya 0.049%[1]. Dengan keadaan tersebut, pengadaan ruang publik berupa Taman Literasi menjadi solusi efektif untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Taman literasi adalah salah satu cara untuk memperkenalkan dunia menulis, budaya, kesenian dan pengetahuan kepada masyarakat tanpa menghilangkan makna pada taman tersebut. Keberadaan taman literasi juga akan lebih ramah dan menyenangkan dalam memperkenalkan apa itu ‘membaca buku’ yang sebenarnya kepada masyarakat. Selain itu, taman literasi juga diharapkan dapat menghimpun dan merangkul semua komunitas penulis di kota pada berbagai kesempatan. Penyediaan lahan untuk taman literasi dapat memanfaatkan areal perpustakaan kota. Sehingga perpustakaan bukanlah tempat yang hanya sekadar ‘ada’.

Kedua, pemerintah perlu mensosialisasikan pembangunan ruang publik dan tujuan dibangunnya ruang publik tersebut. Hal itu berguna untuk meminimalisir ketidaksadaran masyarakat terhadap keberadaan ruang publik dan juga penyalahgunaan ruang publik. Sehingga masyarakat tidak tercengang ketika secara tiba-tiba ruang publik dibangun lantas mereka akan mengerti bahwa ruang publik itu seharusunya dimanfaatkan sebagai apa. Selain itu, penting pula pengadaan para petugas yang akan menjaga keamanan ruang publik dan masyarakat itu sendri.

Gerakan ruang publik ini persis permainan orkestra. Semuanya bekerja di wilayah mereka masing-masing. Karena keselarasan perpaduan antara integritas pribadi, komunitas, institusi, hubungan antarinstitusi dan suprastruktur akan memayungi perangkat pengelolaan ruang publik. Sehingga semua kalangan ikut berperan aktif untuk ruang publik mereka. Bukan lagi seperti konser musik Jazz, ketika dimana hanya mengandalkan satu pihak saja yang mengupayakan keberadaan ruang publik tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun