Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gusdur dan Penghargaan atas Kemampuan Kaum Difabel

22 Desember 2020   17:17 Diperbarui: 22 Desember 2020   17:32 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi (Dep.Kominfo, 2005) via docplayer.info/user/71691711

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 3 Desember 2020, diperingati sebagai hari difabel nasional dan internasional. Berkenaan dengan itu, meski sedikit telat, saya ingin menulis soal kaum difabel ini. Kebetulan juga Desember ini dikenal pula sebagai Bulan Gusdur.  Saya pun ingin menulis penghargaan terhadap kaum difabel ini dalam keterpautannya dengan sosok Gusdur.

Gusdur adalah nama yang popular dan lekat dalam ingatan. Sosok yang bernama lengkap Abdurrahman Wahid itu adalah seorang kiai, intelektual, budayawan, pengamat sepak bola, dan pernah memimpin Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, selama tiga periode.  Gusdur bahkan pernah ditabalkan sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4.

Namun yang paling berkesan dari sosok ini, karena banyak kalangan menahbiskannya sebagai Bapak Pluralisme. Gusdur memang dikenal sebagai orang yang nyaris menghabiskan hidupnya memperjuangkan kaum minoritas dan penghargaan terhadap perbedaan.  Ia membela agama minoritas, etnis Tionghoa, kaum trans-gender  dan juga para penyandang difabel.

Dalam posisinya sebagai pejuang Hak Asasi Manusia, termasuk memperjuangkan hak-hak kaum difabel ini, yang sering kita lupakan bahwa Gusdur sendiri adalah salah seorang difabel.   Memang dia lahir sebagaimana manusia pada umumnya. Tetapi konon, sejak 1985, Gusdur kena glaukoma. Kedua matanya mengalami gangguan dan penglihatannya menjadi terbatas. Ketika Gusdur terpilih menjadi presiden praktis penglihatannya sudah mulai berkurang.

Banyak yang meragukan Gusdur sebagai Presiden dengan keterbatasan penglihatannya. Tetapi justru pada masa Gusdur jadi presiden banyak hal fundamental yang dilakukannya. Salah satunya adalah memulihkan hak-hak kewarganegaraan keturunan Tionghoa di Indonesia. Gusdur juga memberikan pengakuan kembali terhadap Konghucu sebagai agama yang diakui di Indonesia. Selain itu banyak terobosan lainnya mengenai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.  

Dalam bidang ekonomi, dan ini tidak banyak dipublikasikan kala itu, pemerintahan Gusdur juga ternyata berhasil melakukan pemulihan. Pemerintahan Gusdur menerima warisan pertumbuhan ekonomi (-) 3 %  pada September 1999. Setahun pemerintahan Gusdur, perekonomian kembali tumbuh di angka 4,9 %.

Istimewanya karena pertumbuhan itu diiringi dengan pengurangan beban utang sebesar USD 4,15 M.  Siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi kala itu? Jika melihat angka kesenjangan sosial, maka pertumbuhan ekonomi itu dibagi cukup merata dan adil. Gini Rasio kala pemerintahan Gusdur adalah yang paling rendah dalam 50 tahun terakhir, yakni hanya 0,31. Gusdur bersama timnya, mencapai angka 0,31 kala itu dari sebelumnya berada pada angka 0,37, hanya kurang dari dua tahun.

Seorang yang diragukan karena kondisi fisiknya itu, ternyata mampu melakukan sesuatu yang hebat. Andaikan Gusdur, meminjam istilah Virdika, tidak dijerat dalam patgulipat politik, mungkin akan lebih banyak lagi terobosan penting yang akan dibuatnya. Ia memang akhirnya tidak berhasil menyelesaikan lima tahun masa kepemimpinannya, tetapi bukan karena tak mampu, apalagi karena soal penglihatannya yang semakin terbatas. Ia dilengserkan dalam permainan politik lancung.

Dalam situasi mengalami masalah pada penglihatan, Gusdur bahkan masih menyampaikan ceramah di mana-mana. Tulisan-tulisannya yang jernih dan menawan tetap hadir di berbagai media. Bahkan dengan sangat bagus Gusdur meladeni kritikan Sindhunata.

Menariknya, karena polemik politik keduanya itu dikemas dengan tulisan mengenai sepak bola. Sindhunata menyentil kepemimpinan Gusdur dalam tulisan "Catenaccio Politik Gusdur." Gusdur menjawabnya dengan "Catenaccio Hanyalah Alat Belaka." Polemik yang ciamik dan bermartabat. Kini rasanya sulit menemukan perselisihan politik yang dilontarkan dengan cara-cara elegan semacam polemik Sindhunata dan Gusdur tersebut.

Ketika pemilihan Presiden 2004, Gusdur kembali maju. Ia tahu dukungan politik tidak lagi besar kepadanya. Ia pun paham kemungkinan akan terganjal, karena faktor kedua matanya. Tetapi sekali lagi ia ingin memberikan pelajaran pada bangsa ini, bahwa kaum difabel pun punya hak yang sama dalam politik. Seseorang tidak boleh diremehkan, hanya karena kondisinya tidak sama dengan manusia pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun