Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sukmawati Berpuisi dan Tuhan Pun Tertawa

4 April 2018   07:59 Diperbarui: 6 April 2018   06:48 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lah masa iya Tuhan tertawa saat Sukma berpuisi? Bukankah berjejal-jejal umat yang geram ?

Kala Sastrawan Ceko,  Milan Kundera   menerima  penghargaan sastra Jerusalem prize, Ia berkata begini: "Dari mana cerpen dan  novel diciptakan? Dari tawa Tuhan. Begitu Kundera menjawab sendiri. Dalam tulisan Milan Kundera,  The Art of the Novel, Ia bicara tentang arti seni bagi sebuah novel. Salah satunya dia bercerita, konon ide pertama penciptaan novel terjadi saat Carvantes mendengar suara tawa Tuhan dan saat itulah lahirlah karyanya "Don Quixote". 

Nah jika Tuhan tertawa saat prosa diciptakan maka serentak  saya ingin bilang pula: "kapan puisi digubahkan? Manakala Tuhan tersenyum".  Dengan demikian seni membuat sastra (novel, puisi dan lainnya) adalah seni yang penuh tawa, senyum, rasa humor, permainan dan seni memahami realitas dengan ketidak pastian yang mengejutkan.  

Begitulah sejatinya puisi dan karya sastra lainnya dicipta, sambil tertawa setidak-tidaknya  tersenyum. Semarah marahmu dalam mencipta dan berpuisi, setidaknya tetap  bisa membuat pendengar/pembacamu tersenyum walaupun kecut.  Ketahuilah lawan sastra adalah orang yang tidak pernah tertawa. Dan  siapa yang tak pernah tertawa, merekalah orang-orang yang mati rasa  humornya, kata Ahmad Sahal dalam tulisan pengantarnya pada kumpulan cerpen Kompas, kalau tidak salah judulnya Perihal Cerpen-cerpen Kompas

Puisi sebenarnya tidak bersuara tunggal. Seperti sastra lainnya, puisi  merangkum realitas dengan suara yang beragam. Polifonic begitu kalau tidak salah istilahnya. Dalam puisi kebenaran tidak tunggal. Maka keliru jika  kebenaran dalam suara yang beragam itu diringkus oleh satu kesimpulan.   Begitu anda melihat secara tunggal kebenaran dalam puisi (sastra), maka  sejak saat itu anda sudah berhenti tertawa.

Biarlah puisi bicara dalam saling silang kebenarannya. Jika tak puas, buatlah sendiri puisinya....tapi ingat sambil tersenyum.

Namun sejatinya....saya sebenarnya ingin membalas puisi Sukmawati, Sang anak Proklamator itu he..he.., dan semoga saya tetap tertawa begitu pun Anda:

Bagaimana Saya Harus Marah

Kamu bilang tak tahu syariat

Sehingga konde lebih kau pandang elok dari cadar penutup raut

Tapi bagaimana saya harus marah....?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun