Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ilmiah dan Fiksi yang Tanpa Jarak

5 Maret 2018   09:18 Diperbarui: 9 Maret 2018   00:33 1694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Mungkinkah tulisan ilmiah (Laporan Penelitian, Disertasi,  Jurnal) ditulis dengan gaya sastrawi? Kalau saya yang ditanya, saya akan  bilang bukan hanya mungkin tapi penting. 

Bukankah selama ini betapa  banyak karya-karya ilmiah yang bertumpuk di perpustakaan, lapuk dan  dimakan rayap tanpa pernah disentuh oleh pembaca? Bahkan dengan guyon Gusdur pernah bilang;

"Andaikan makalah-makalah dan  karya ilmiah dikumpul dan disusun, mungkin sudah sundul langit dan Anda  bisa ke bulan hanya dengan menitinya saja".

Karya  ilmiah yang tidak bisa diterapkan dan mungkin tidak menarik bagi  pembaca nasibnya akan seperti kata Gusdur itu.  Ya....! Anda boleh  bilang, biang keroknya karena tradisi literasi  masyarakat Indonesia yang sangat rendah, tapi saya juga bisa bilang karena sajian dari karya ilmiah itu terlalu cengkar.

Demi  untuk kebutuhan dianggap ilmiah, tulisan yang bertema karya ilmiah itu  biasanya tabu untuk memasukkan hal-hal yang bersifat sastrawi, misalnya  puisi atau cerita-cerita fiksi. Jadilah tulisan tersebut hanya dipenuhi  dengan kutipan teori dan bahasa canggih (karena banyak memilih diksi  asing). 

Semakin banyak teori atau kutipan dan semakin banyak diksi  asingnya, maka semakin dianggap ilmiahlah tulisan tersebut. Beberapa  jurnal bahkan mempersyaratkan batas minimal yang harus dikutip. 

Maka  jangan coba-coba menulis ilmiah dengan gaya sastrawi, Anda bisa  diceramahi apa itu karya ilmiah dan yang mana karya sastra (fiksi) serta  distingsi (wow...pake istilah asing nich...) antara keduanya.

Benarkah  masih harus dibedakan antara karya ilmiah dan karya sastra (yang  dianggap fiksi) secara tegas? Benarkah pula bahwa yang ilmiah itu harus  selalu mengutip teori dan dipenuhi dengan diksi asing?

Sumber: wadleighlibrary.org
Sumber: wadleighlibrary.org
Kita  jawab dulu yang kedua. Ilmiah sebenarnya bukan soal banyaknya  kutip-mengutip teori, apalagi soal menyajikan kata-kata yang banyak  leksikon asingnya. Ilmiah ya....aktivitas mengumpulkan data dengan  metode yang jelas serta kemampuan memerikan  data dengan argumentasi  yang logis. Bisa juga ditambah, karya semakin ilmiah, jika semakin  bermanfaat bagi masyarakat. 

Soal nanti cara menulisnya sastrawi,  misalnya mengambil cerita fiksi atau bahkan menyelipkan puisi, bukanlah menjadi ukuran tulisan itu dianggap tidak ilmiah. Yang penting, itu  tadi, data jelas dan argumentasi masuk akal.

Kalau kita cermati  penulis ilmiah ternama, semacam Amartya Sen yang pernah mendapat Nobel  atas karya-karya ilmiahnya itu, dengan santai menyelap-nyelipkan puisi atau cerita-cerita fiksi dalam karya ilmiahnya. Tengoklah! kalau tidak  percaya, karyanya Identity and Violence. Prolognya dimulai dengan mengambil syair dari Mathew Arnold, 'Dover Beach':

And We Are Here as on a darkling plain 
Swept with confused alarms of struggle and flight, 
Where ignorant armies clash by night.

Bukan  hanya sampai disitu, saat Sen ingin menguar soal kenapa  Kekerasan/Kebencian Bisa Merebak, lagi-lagi Ia mengutip sebait puisi  Ogden Nash dalam "A Plea for Less Melice Toward None":  "Any kiddie in school can love like a fool, but hating, my boy, is an art".  Sekali waktu  dia bercerita dengan gaya fiksi. Misalnya Ia mengutip cerita kala Ia melancong ke wilayah Karibia tahun 1961.

Penulis  hebat lainnya yang dengan santai memasukkan puisi, syair atau cerita  dalam tulisannya adalah Rudyard Kipling. Ia bahkan menulis sendiri  puisinya dalam "The Ballad of East and West", untuk menjelaskan soal pertarungan peradaban barat dan timur atau dalam bahasa Huntington sebagai Clash of Civilizations. Ia berpuisi begini   :

"Oh.... east is east, and west is west 
And never the twain shall meet 
Till earth and sky stand presently at 
God's great judgement seat 
But there is neither east nor west, border, nor breed, nor birth, 
When two strong men stand face to face though they come from the ends of   earth"

Tulisan antropolog yang bertebaran, termasuk tentang Indonesia, juga selalu  bernuansa sastrawi. Tulisan Gertz tentang Sabung Ayam di Bali yang  dianggap sebagai salah satu karya etnografi yang bagus, bertutur renyah  dan lincah laiknya karya sastra fiksi. Kita hampir tidak bisa membedakan  lagi dalam alur tulisan tersebut yang mana fiksi dan mana yang ilmiah.

Sebagian  malah menganggap Gertz dalam tulisannya itu, sedang menulis biografi  tentang dirinya. Pengalaman dekat dia (emik) dalam bersentuhan dengan  masyarakat Bali. Untuk kita ketahui, biografi senyatanya adalah cabang  dari ilmu sastra dan untuk  sementara sastra sendiri dianggap kental  dengan fiksinya.

Begitu pun tulisan Anna Tsing soal masyarakat  Dayak, Ia dengan bagus menampilkan syair tentang anak muda yang  digambarkan sebagai serdadu. Begini syairnya :

Hai anak serdadu 
Kemana engkau Pergi? 
Belikan Aku Cerutu 
Namanya Dubian Baru

Jelaslah  bahwa menulis karya ilmiah secara sastrawi bukanlah persoalan. Sastrawi   dalam arti bukan sekedar tulisannya yang mendayu-dayu, tetapi  memasukkan unsur sastra, misalnya syair, puisi, dongeng dan cerita.

Yang  paling penting digaris bawahi dalam menulis karya ilmiah sastrawi  adalah untuk apa meletakkan unsur sastra dalam tulisan tersebut. Sejauh  mana pentingnya dan dalam rangka apa ? Sejauh hal itu tidak out of context  apalagi jika mendukung tulisan, maka justru keberadaannya menjadi penting.

Sumber: hip-books.com
Sumber: hip-books.com
Terakhir, saya akan menjawab pertanyaan pertama di atas, soal apakah yang ilmiah dan fiksi harus dibedakan secara tajam ?

Dalam era zaman now ini (baca; post-modernisme atau post-strukturalisme) tak ada distingsi yang tegas lagi antara yang fiksi dan ilmiah. Dalam Works and Lives: The Anthropologist as Authors, Gertz  secara jelas menyatakan;  fakta dan fiksi memiliki kesamaan, sekaligus Ia tegaskan  bahwa  seorang antropolog yang menyusun karya etnografi (juga berlaku untuk para penulis ilmiah lainnya) ternyata sama saja  dengan seorang pengarang sastra (novel, cerpen dan puisi).  

Fiksi dan  fakta adalah dua hal yang  tak bisa direngkah secara tegas, sementara  seorang etnograf sama saja dengan seorang pengarang novel (author),  kira-kira demikianlah kesimpulan Geertz. 

Memang sih...bagaimana pun! Apa yang Anda pertahankan mati-matian sebagai sesuatu yang ilmiah  dengan segenap teori dan data, tidak ada yang bisa menjaminnya bahwa  tidak mengandung fiksi. Sebaliknya juga demikian.

Singkatnya, menulislah tulisan Ilmiah dan jangan ragu menggabungkannya dengan  unsur-unsur sastra yang fiksi di dalamnya! Percayalah keilmiahan tulisan  Anda diukur dari sejauh mana Ia dibaca, dirujuk dan digunakan oleh  masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.  

Sebagaimana karya Kyai Ihsan  Jampes, Irsyad al-Ikhwan fi Bayan al-Hukm al-qahwah wa al-dukhan , murni syair bermatra rajaz, namun banyak dijadikan rujukan ketika ingin memahami hukum merokok dan minum kopi, bahkan oleh orang Arab  sekalipun.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun