Mohon tunggu...
Rodhiyah Nur Isnaini
Rodhiyah Nur Isnaini Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia

Masih terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecerdasan Tak Harus Sama

14 Oktober 2020   07:00 Diperbarui: 14 Oktober 2020   07:10 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan yang merangkul semua anak tanpa terkecuali.

Setiap dari kita punya keunikan masing-masing, punya hak yang setara, punya kemampuan yang berbeda, punya segudang mimpi dan harapan yang beragam, dan tingkat kecerdasan yang tak sama, lantas mengapa orangtua harus malu dengan anaknya yang punya keunikannya sendiri? Mengapa anak harus kecewa dengan dirinya sendiri karena tidak bisa sama seperti standar sukses yang orangtua inginkan?

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional telah memberikan warna dalam penyediaan pendidikan dan jaminan sepenuhnya kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler). Dengan demikian pelayanan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak hanya pada Sekolah Luar Biasa (SLB), melainkan juga terbuka di setiap jenjang pendidikan seperti sekolah reguler atau umum.

Seperti yang dikemukakan Judith Heumann, penasihat bank dunia mengenai kecacatan dan pembangunan, "bila anda tidak mengakui bahwa sesungguhnya para penyandang cacat memiliki kesempatan yang sama dalam kesempatan belajar, maka kesempatan mereka bukan dibatasi oleh cacat tubuh yang mereka miliki, namun oleh kurangnya pendidikan."
 
Pendidikan inklusif menjadi wadah untuk sekolah dan pendidik untuk mengakomodasi dan peka terhadap peserta didik secara individual tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau karakteristik lainnya.

Dalam beberapa bulan terakhir, pendidikan inklusif menjadi isu yang sangat menarik dalam sistem pendidikan nasional pada masa pandemi. Hal ini dikarenakan semua sekolah seketika ditutup dan kegiatan belajar mengajar terganti dengan sistem serba online dari rumah masing-masing.

Anisa Elok Budiyanto, seorang pakar dari UNICEF mengatakan bahwa terdapat beberapa hambatan layanan pendidikan inklusif pada masa pandemi, yaitu anak dengan disabilitas memiliki resiko tertinggal informasi karena pesan-pesan kunci penanggulangan wabah dan menjaga mental tidak terjangkau. Selain itu, kebijakan batasan sosial dan isolasi telah mengakibatkan sulitnya akses layanan terapi reguler dan layanan kesehatan bagi anak dengan disabilitas.

Anisa menuturkan bahwa ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut, yaitu pertama identifikasi kesenjangan dan pemetaan penyedia layanan terkait. Kemudian mengupayakan keberagaman sumber belajar yang dapat dilakukan dengan digitalisasi dan penyempurnaan aksesibilitasi dari modul-modul dan repositori materi pembelajaran era COVID-19. Selanjutnya, pelatihan daring strategi-strategi pembelajaran yang berpusat pada anak. Terakhir, komunikasi memastikan anak dengan disabilitas dapat kembali bersekolah.

Pendidikan inklusif pada masa pandemi akan berjalan dengan baik apabila orangtua, kerabat atau pendamping belajar anak berkebutuhan khusus bisa saling bekerja sama dan saling mengerti kondisi ini dengan sabar dan ikhlas. Dan bagian yang terpenting yang harus selalu tertanam dalam dunia pendidikan apapun bentuknya bahwa setiap anak itu setara, maka tak perlu menjadi seragam, sebab kecerdasan tak harus sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun