Mohon tunggu...
Rodhiyah Nur Isnaini
Rodhiyah Nur Isnaini Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia

Masih terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berani Memilih, Berani Menerima Konsekuensi

3 Oktober 2020   00:52 Diperbarui: 3 Oktober 2020   01:16 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Energi yang kita keluarkan sekarang, akan berbuah investasi yang akan terbayar nanti," ujar Amy.

Pilihan menjadi bagian dari kehidupan. Diri kita pada hari ini adalah konsekuensi pilihan kita di masa lalu, maka kita di masa depan adalah konsekuensi pilihan kita pada hari ini.

Banyak dari kita menganggap bahwa telah melakukan kesalahan dalam mengambil sebuah pilihan. Kita merasa bersalah dan terkadang ingin mengulang masa lalu untuk memperbaiki itu semua. 

Contohnya seperti kita salah dalam memilih pemimpin, salah memilih pasangan, salah memilih jurusan, salah memilih baju, atau hal-hal lainnya, dari yang bersifat besar sampai ke hal-hal yang bersifat kecil. 

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kita terlalu berharap pilihan yang kita ambil adalah pilihan yang tepat, sehingga tidak menerima segala konsekuensi yang dihadapi setelahnya.

Amy Morin, psikoterapis dewasa dan anak dari Northeastern University menuturkan bahwa seseorang perlu mengenal adanya aturan dan konsekuensi untuk menjadi disiplin. 

Prinsipnya "mereka akan mendapat konsekuensi jika tidak mengikuti aturan." Akan tetapi banyak orangtua hanya berhenti pada tahap membuat aturan, namun luput dalam menegakkannya. 

Orangtua sering tidak menegakkan konsekuensi saat anak melanggar aturan yang penyebabnya beragam, bisa dikarenakan iba melihat anak tertekan, merasa terlalu keras pada anak kemarin, atau terlalu lelah menghadapi perilaku anak.

Orangtua terkadang merasa iba ketika melihat anak-anak mengalami hal sulit, seperti saat anak merasa lelah bersekolah. Akan tetapi merasa iba dengan alasan tersebut tidak menjadi solusi. Menurut Amy dengan memberikan konsekuensi artinya kita telah menjaganya supaya tetap merasa aman dengan menetapkan batas.

Kesalahan orangtua lainnya karena merasa terlalu keras pada anak, contohnya saat sudah masuk jam makan atau belajar, tetapi masih asik bermain game di gadget, terlebih saat pandemi, anak-anak lebih banyak bermain gadget daripada dengan lingkungan sekitarnya. 

Oleh karena itu, perilaku disiplin menjadi langkah tepat dalam hal ini, sebagai konsekuensinya banyak orangtua yang melakukan tindakan dengan  mengambil hak bermain gadget. 

Tetapi orangtua terkadang merasa terlalu keras terhadap hal tersebut, sehingga mengurungkan hukuman yang akan diberikan. 

Amy berpendapat, "jika Anda menawarkan disiplin keras sebelumnya, itu tidak berarti Anda tidak boleh mendisiplinkan sekarang. Sangat penting bahwa Anda konsisten dengan disiplin."

Ketika kita menunjukkan inkonsistensi, anak akan merasa kebingungan yang berakibat masalah terhadap perilaku. 

"Jadi ketika kita keras kemarin, tunjukkan pada anak bahwa Anda masih akan menegakkan aturan hari ini," pungkas Amy.

Ada juga di mana orangtua merasa terlalu lelah untuk menegakkan aturan. Merasa seperti telah kehilangan banyak tenaga untuk sekedar memberikan konsekuensi pada anak. 

Pada akhirnya memilih untuk membiarkan tindakan anak dan berpikir akan memberikan konsekuensi di lain waktu. Namun dengan pemikiran konsekuensi di lain waktu, anak akan berpikir bahwa hal tersebut bukanlah suatu keadilan. Anak-anak juga tidak mempunyai patokan antara benar atau pelanggaran.

Mari sebagai orangtua atau calon pendidik kumpulkan tenaga ekstra untuk memperbaiki masalah perilaku tersebut.  Konsekuensi merupakan bagian penting untuk membuat anak belajar "sebab-akibat," sehingga anak nantinya dapat disiplin, bertanggung jawab, dan dapat membuat keputusan yang baik dan tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun