Mohon tunggu...
Iin Sawitri
Iin Sawitri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sedang Menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta Jursan Pendidikan Luar Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Telaah Persaingan Perdagangan Tradisional dan Modern dalam Pencapaian Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia

22 November 2014   01:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:11 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gang Gejayan di sore hari. Bapak tua itu tidak terusik dengan panasnya terik matahari dan tetap menjaga barang dagangannya. Dengan beralaskan tikar pandan yang telah usang Ia menata barang dagangannya di lapak kaki lima dengan penuh semangat. Peluh di capingnya telah lama mengucur, tetapi tidak Ia hiraukan.

Mbah setro sudah lama berjualan di gang Gejayan, walau tak banyak yang tahu keberadaannya. Dengan keterbatasan pengetahuan ilmu berdagang yang Ia miliki, tak banyak penghasilan yang Ia dapatkan. Laba dan rugi seakan bukan menjadi masalah, yang Ia tahu adalah setiap orang harus berusaha untuk mengejar rezki yang digariskan Tuhan.

“Masalah untung rugi sudah saya serahkan Gusti Pangeran nduk, kadang terjual semua, kadang tidak ada yang beli, itu sudah biasa. Saya "wong cilik" hanya bisa berusaha menangkap rizki dari tuhan” ujar beliau yang ternyata bertempat tinggal di Bantul, Yogyakarta ini.

Mbah Setro memiliki seorang istri yang berprofesi sebagai kuli panggul di Giwangan. Di usianya yang menginjak senja, mereka tetap bekerja mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari. Keenam anaknya sudah memiliki keluarga sendiri dan menjalani kehidupan masing-masing. Beratnya hidup sudah mereka rasakan sejak masih muda. Tak heran jika mereka belum bisa meninggalkan pekerjaan sebagai kuli panggul dan penjual pisang sampai saat ini.

Pilihan Mbah Setro berjualan di Gang Gejayan sebenarnya sangat sederhana, yaitu banyak mahasiswa yang lewat di gang ini. Alasan tersebut sebenarnya memiliki berbagai arti. Yang pertama karena mahasiswa jarang mengkonsumsi pisang sebagai buah tradisional, dan yang paling utama yaitu karena mahasiswa memiliki rasa simpatik kepada penjual di jalanan. Rasa simpatik disini juga bisa dikatakan sebagai rasa iba melihat seseorang yang seharusnya sudah istirahat menghabiskan masa tua, tetapi masih berjuang menghadapi kerasnya kehidupan.

“Kebanyakan yang beli ya itu-itu saja nduk, yang paling penting simbah tidak merugikan orang lain. Apa yang simbah dapat ya di terima, kadang ada yang membelikan simbah baju ya saya terima. Saya sudah senang kalau ada yang lewat dan senyum dengan simbah. Simbah jadi ingat anakku yang sudah lama tidak pulang ke Yogya.”ujar beliau ketika di wawancarai oleh penulis Minggu, (9/11/2014).

Sangat miris ketika mengetahui maksud Mbah Setro tersebut, di usia tuanya Ia masih bekerja dan mengandalkan belas kasih para lalu lalang. Jarang ditemui para pembeli yang sengaja membeli pisang karena memang membutuhkannya. Kebanyakan dari pembeli tertarik untuk membelipisang tersebut karena merasa iba melihat kondisi Mbah Setro.

Globalisasi

Seiring dengan berjalannya waktu, pedagang tradisional telah mengalami keterpurukan. Mbah Setro merupakan salah satu pedagang yang masih mencoba bertahan walau langkahnya semakin sulit. Munculnya Supermarket, Departement Store, Hypermarket, dan produk globalisasi lainnya semakin memperkecil gerak pedagang tradisional. Diikuti dengan gaya hidup masyarakat Indonesia yang juga turut mengikuti arus Globalisasi. Keberadaan Toserba elit yang lebih bersih, higinis dan ber-AC menjadi pilihan utama untuk berbelanja daripada harus ke pasar yang penuh sesak, gerah, dan harus tawar menawar terlebih dahulu.  Peranan pemerintah juga belum bisa memberikan kemerdekaan bagi pedagang pasar tradisional. Di lain sisi mereka mendukung peremajaan pasar tradisional, di lain sisi juga mereka tidak melarang berdirinya gedung-gedung mewah sebagai lokasi perdagangan modern (Permendag No. 53/M-DAD/PER/12/2008)

Membiayai Pemodal Asing

Berdirinya berbagai pusat perbelanjaan yang modern sebenarnya bukan menjadi masalah jika dikelola sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia. Tetapi  hal ini menjadi masalah yang krusial jika pemerintah belum mampu memberikan perlindungan dan lahan bagi pedagang tradisional dalam memasarkan dagangannya. Perbelanjaan modern dengan modal yang besar seakan menjadi penguasa pasar dengan berbagai kelebihannya.  Sedangkan  perbelanjaan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat menengah ke bawah tidak mampu bersaing dengan perbelanjaan modern untuk menyajikan kualitas dan mutu yang baik karena terbatasnya permodalan. Akibatnya banyak pedagang tradisional yang gulung tikar.

Terlepas dari berbagai perpektif di atas, timbul berbagai masalah komplek lainnya yang dialami oleh perbelanjaan tradisional. Produk yang ditawarkan oleh pusat perbelanjaan modern merupakan produk industri besar yang dikuasai oleh investor asing. Hal ini karena kebijakan negara yang memberi peluang bagi investor yang tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satu contoh konkritnya pada tanggal 15 Februari 2005 mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani jaminan investasi Singapura di Indonesia. Dilanjutkan pada tanggal 13 April 2010, mantan Wakil Presiden Boediono juga menandatangani jaminan investasi Amerika Serikat di Indonesia. Investasi asing tersebut secara tidak langsung telah melumpuhkan pedagang tradisional. Tanpa di sadari bahwa pembeli perbelanjaan modern dari semua kalangan telah memberikan subsidi kepada investor asing. Jika dianalogikan secara sederhana, setiap masyarakat miskin yang membeli pasta gigi dan sabun di pusat perbelanjaan, sama saja dengan mereka memberikan subsidi kepada negara pemberi investasi. Di lain sisi masyarakat miskin menjadi terpuruk, dan negara pemberi modal semakin mendapatkan keuntungan.

Di masa dewasa ini, Indonesia merupakan negara lahan investasi modal yang sangat potensial bagi negara asing. Keberadaan UU No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal telah membukakan pintu lebar-lebar bagi investor asing untuk membuka lahan di Indonesia. Semakin banyak investor asing yang menanamkan modal di Indonesia, maka ketergantungan Indonesia dengan negara investor juga semakin tinggi. Ketergantungan inilah yang dikhawatirkan akan membuat ekonomi Indonesia tidak stabil.

Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia dengan Mengeksiskan Perbelanjaan Tradisional

Dengan menjadi konsumen perbelanjaan modern, maka keuntungan negara pemberi modal juga semakin besar. Jika hal ini tertanam di Indonesia dalam jangka waktu yang lama, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia akan mengalami ketergantungan terhadap bangsa lain, terutama negara penanam modal. Ketergantungan inilah yang lambat laun akan mempermudah bangsa asing menggoyahkan kestabilan keuangan bangsa Indonesia.

Solusi sederhana yang dapat diterapkan bagi masyarakat Indonesia untuk mengatasi krisis investasi Indonesia tersebut yaitu dengan mengeksiskan perbelanjaan tradisional. Meskipun pelayanan yang diberikan oleh perbelanjaan tradisional tidak sebagus pelayanan perbelanjaan modern, tetapi kita telah berperilaku bijak untuk menghidupi keluarga kaum menengah ke bawah dan meningkatkan perekonomian Indonesia. Melalui hal yang sederhana kita telah memberikan titik terang bagi para entrepreneur kecil untuk tetap eksis membangun usahanya. Jika semangat mencintai perbelanjaan tradisional ini dapat dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia, maka istilah "Si Kaya dan Si Miskin" berangsur-angsur akan tergantikan dengan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Iin Sawitri - Pendidikan Non Formal - Univesitas Negeri Yogyakarta

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun