Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Ngalian ke Sendowo, Nh. Dini dan Lansia Mandiri

3 Juni 2015   12:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:22 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berawal dari sebuah ketidaksengajaan ketika pandangan mata tertumbuk pada tumpukan buku yang dipajang sebagai new release, wah bukunya Nh. Dini dan judulnya sangat menggoda “Dari Ngalian ke Sendowo” .bagi saya yang sempat mencecap kehidupan bertahun-tahun di Sendowo membuat saya akhirnya memasukkan buku itu dalam kantong belanjaan untuk dibawa pulang.

 

Membaca lembar dari lembar cerita seri kenangan ini membuat banyak kerinduan saya terobati, yang pertama jelas, saya rindu gaya bertutur Nh. Dini yang mungkin sudah lebih dari satu dasawarsa tak pernah saya akrabi kembali selepas karya-karya klasik terdahulunya seperti Padang Ilalang Di Belakang Rumah, sekayu atau Pada Sebuah Kapal yang seolah menjadi bacaan wajib para siswa kelas menengah. Penulisan yang runtut dengan menggunakan bahasa sederhana, mudah dipahami namun kaya makna masih menjadi kekhasan beliau, hingga buku setebal 263 halaman itu bisa saya santap dalam waktu satu hari saja.

 

Kerinduan kedua yang berhasil dituntaskan adalah mengenang sebuah masa dimana dulu saya pernah numpang hidup di wilayah sendowo, sebuah daerah perkampungan di belakang RS. Sardjito Jogjakarta. Buku ini seperti mengajak saya menyelami saat dimana saya acapkali melihat Nh. Dini ada di pondok bacanya atau ketika sedang bergaul dengan tanaman-tanaman hiasnya di perumahan Yayasan Wredha Mulya (YWM). Walaupun begitu, dijaman itu tak sekalipun terbersit dalam pikiran untuk mampir atau sekedar mengajak ngobrol, hanya sebuah senyum yang saya berikan jika kita memang bertatap muka. Agak menyesal memang sekarang, tapi dulu saya menganggap seorang pegiat sastra seperti beliau pasti memiliki pandangan dan jangkauan keilmuan yang luar biasa dan saya takut tidak bisa menjalin sebuah percakapan yang sesuai.

 

***

 

Sebelum semakin larut dan menyita waktu para pembaca,perlu saya informasikan bahwa seperti halnya tulisan-tulisan saya terdahulu bahwa ini bukanlah sebuah review sebuah buku, tapi hanya sebuah curhatan biasa yang terinspirasi selepas purna membaca, sebuah nggamblehan tak berarti kalau boleh saya sebut begitu.

 

Secara garis besar, buku ini memaparkan tentang kehidupan Nh. Dini di usia senjanya di kisaran tahun 2000-2006, ketika akhirnya Nh. Dini memutusan boyongan dari rumah beliau di perumahan Bringin Indah,Ngaliyan Semarang menuju ke rumah jompo Yayasan Wredha Mulya di Sendowo, Sleman, DIY. Banyak hal yang harus Nh. Dini lalui untuk mengambil keputusan besar itu, tinggal sendiri setelah ditinggal oleh anak asuhnya yang baik, rumah yang terlalu besar dan mahal untuk biaya perawatannya, sulitnya menemukan kecocokan dengan anak asuh-anak asuh yang baru.

 

Bersyukurlah Nh. Dini karena memiliki banyak kerabat dan karib yang selalu ada disaat beliau membutuhkan pertolongan. Seperti saat harus operasi gigi karena impaksi ataupun kala berbaring di meja operasi akibat batu empedu.

 

***

Bagi sebagian yang tidak terlalu mengenal Nh. Dini tentu bertanya-tanya, apakah beliau benar-benar hidup sendiri, jawabannya tidak, karena Nh. Dini memiliki dua orang anak. Wah tega sekali anak-anaknya hingga membiarkan ibunya menjalani hidup sendiri di Panti Wredha. Ya, bukan hal yang anneh jika banyak yang menganggap demikian. Hal itu pulalah yang sempat menjadi pemikiran saya dulu ketika masih tinggal di Sendowo. Prasangka saya yang kejam dan cara berpikir saya yang sempit langsung menghakimi sanak saudara maupun keturunan dari para sepuh yang tinggal di YWM. Apa alasan mereka hingga membuang orang yang dulunya berjuang mati-matian demi kelangsungan kehidupan anak-anaknya dimasa depan.

 

Namun akhirnya pikiran itu semakin lenyap seiring dengan pertambahan umur, dan setelah membaca buku ini sayapun semakin mengerti bahwa tinggal di Rumah Jompo YWM adalah sebuah pilihan sadar dari Nh. Dini sebagai seorang Lansia Mandiri. Ya, beliau memang punya anak, tapi semuanya tinggal di luar negeri dan beliau memang tidak mau merepotkan anak-anaknya untuk merawatnya di masa tua. Beliau juga memiliki tanggung jawab terhadap kemajuan pondok baca yang digagasnya, beiau juga masih ingin produktif sebagai seorang sastrawan dan menghasilkan bacaan-bacaan berkualitas sebagai ladang ilmu yang tak pernah habis.

 

***

 

Bukan hal yang mudah memang ketika seseorang memutuskan untuk menjadi lansia mandiri, perjuangan hidup sendiri di saat usia sudah tidak muda lagi ditambah dengan kemampuan anggota gerak yang semakin terbatas dan aus, serta organ lain yang kerjanya semakin melambat. Tapi semua hal itu bisa diatasi dengan menyelaraskan antara jiwa dan raga, karena pikiran yang sehat akan memberi pengaruh positif terhadap kesehatan tubuh secara umum.

 

Usai menyeleaikan halaman terakhir, sayapun teringat tentang sebuah obrolan kecil di suatu waktu yang berakhir dengan sebuah simpulan yang bersifat menyerang personal. Terucapkanlah sebuah kalimat dari kawan bicara saya, bahwa itu semua karena saya adalah seorang lajang dan tidak memiliki anak. Padahal saya hanya mengatakan bahwa anak bukanlah sebuah aset ataupun komoditi bisnis yang kelak ketika orang tuanya mulai menua, maka merekalah yang bertanggung jawab atas kehidupannya sebagai sebuah ganti karena orang tua lah yang sudah berjasa lebih dulu terhadap kehidupan sang anak.

 

Ah, mungkin banyak juga yang berbeda pendapat dengan saya dan saya sangat menghargai itu, tapi setidaknya buku ini telah menuntun ruang kecil dalam otak saya yang terbatas untuk sedikit berkontemplasi, bahwasanya orang tua pasti ingin anaknya bahagia kelak dan anakpun juga pastinya ingin membahagiakan orang tuanya selagi bisa. Tapi tidak lantas dengan mengharuskan orang tua tinggal bersama anak ketika sudah hidup sendiri, siapa tahu bukan hal itu yang membahagiakan keduanya. Tidak bersifat umum memang, tapi pasti ada orang tua yang lebih memilih untuk bisa menjadi Lansia yang Mandiri yang tidak menjadi beban bagi anak keturunannya.

 

***

 

Dan akhirnya kerinduan saya pun bertambah satu, tiba-tiba saya rindu bapak dan ibu yang tidak pernah menuntut balas atas semua kebaikan yang sudah tercurah kepada saya sebagai anaknya, bahkan masih terngiang di ruang dengar saya akan sebuah obrolan dengan ibuk yang bilang bahwa dimanapun kamu nantinya akan tinggal, jauh atau dekat, ibuk akan selalu bahagia jika anak-anaknya bahagia. Ahh jika nantinya saya diijinkan olehNya, sayapun akan mengatakan hal yang sama kepada manusia baik yang diamanahkan pada saya.

 

-------------------------oOo-------------------------

 

 

NB : postingan terpaksa dibuat gara-gara status fb yang kepanjangan hehehehe

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun