Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Sahabat

29 Maret 2020   20:06 Diperbarui: 29 Maret 2020   20:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh; Iin Indriyani

"7 buah jahitan!!!"

Dadaku sesak mendengarnya. Yuk Lastri meneleponku bahwa sahabatku, Asyila, telah masuk rumah sakit. Tak banyak responku, aku hanya mematung tak bersuara. Bahkan aku nyaris tak percaya, bahwa dia berani melakukan hal segila itu. Sesuatu, yang sangat dibenci oleh Allah Swt. Aku tahu, dia memiliki tekanan batin yang cukup kuat selama ini. Dan dia pernah menceritakan hal itu saat kami masih di karantina. Aku terduduk di bawah wastafel. Peralatan masak yang kucuci tak kuhiraukan lagi. Kecewa berselimut sedih seakan menggerogoti ketenanganku.

Matahari mulai terik tertutup awan tipis-tipis. Angin musim dingin menampar kulit wajahku. Wussshh... dingin sekali. Musim dingin pertama yang kulalui tahun ini di negara beton yang masyarakatnya selalu sibuk setiap hari. Sembari jalan kutelepon lagi Yuk Lastri.

"Dimana rumah sakitnya, Yuk?"

"Mei Foo. Keluar dari kereta bawah tanah, kamu jalan kaki sampai ke jalan besar. Nanti naik mini bis warna hijau, ada tulisan rumah sakitnya. Kamu pergi dengan siapa?"

"Sendirian. Yuk Lastri tidak ikut menjenguk?" Tanyaku masih dengan langkah tergesa.

"Nanti saja hari minggu, sama teman-teman yang lain. Kamu hati-hati, jangan lupa kasih kabar ke sini."

"Injih, Yuk." Kututup telepon dan bergegas masuk ke dalam stasiun kereta bawah tanah. Napasku tersengal mengejar jam kereta agar tidak ketinggalan. Lokasi rumah sakit di Mei Foo cukup jauh dari rumah majikanku di Hoo Man Tin. Sekitar satu jam, belum naik bis kecil menuju rumah sakitnya. Rasa marah dan kecewaku terhadap Asyila lenyap berganti kekhawatiran yang maha dahsyat. 

"Ya Allah, ampuni dosa sahabatku." Sepasang mataku yang berkaca-kaca terus mewakili kalimat itu. Perjalanan dalam kereta terasa lama sekali. Yang lebih menghambat waktuku, aku harus ke kantor agency terlebih dahulu di North Point. Jelas sangat memakan waktu. Dari stasiun Yau Ma Tei, harusnya aku bisa langsung ke Mei Foo. Sekitar lima perhentian. Akan tetapi untuk ke North Point aku harus melakukan perjalanan yang berlainan arah. Dari perkiraan satu jam, bisa dua jam sampai ke rumah sakit yang aku tuju bahkan lebih.

Kedua mataku kembali berkaca-kaca. Aku tertegun di dekat pintu. Asyila, dia tergeletak di atas ranjang sebelah kanan dekat jendela. Airmataku meleleh melihatnya. Dengan lemas ia menoleh ke arahku. Sontak ia menangis histeris. Dan aku langsung memeluknya dengan erat. Airmata kami menyatu dalam derasnya kasih persahabatan. Tak ada rasa marah atau pun malu. Aku sangat menyayanginya seperti saudaraku sendiri. Walau sejak di karantina banyak yang tidak suka kepadanya. Lantas apa alasanku untuk marah? Apa hakku untuk marah? Dan apakah aku mampu untuk marah?

Tidak! Aku tidak mungkin memarahinya di saat seperti ini. Apa yang dia lakukan pasti beralasan. Ada kalanya manusia berada pada titik terendahnya. Dan dia membutuhkan uluran tangan orang lain untuk membantunya kembali berdiri. Dan aku sangat mengerti posisinya. Toh, aku juga sama lemahnya dengan Asyila. Hanya saja seberapa pun besar masalah yang kuhadapi, emosiku tidak akan sampai pada hal tolol yang hampir merenggut nyawanya. Bunuh diri! Hanya terbesit di otak orang-orang yang hatinya kosong dari menyembah Tuhan.

"Apa yang membuatmu senekat ini? Kau lupa bahwa kau tidak sendirian di sini?"

Asyila semakin terisak. Ia kembali memelukku dengan erat. "Maafkan aku. Aku benar-benar stress karena tekanan majikan dan juga ingatan tentang masalalu yang seakan mencabik hatiku."

"Dan kau lupa padaku, kan? Aku teman dekatmu selama ini. Aku sahabatmu."

"Tidak. Sungguh tidak. Semua ini terjadi begitu saja. Pada malam aku dimarahi oleh majikan perempuanku, aku langsung disuruh membereskan sebuah almari kecil. Di dalam almari itu ada obat-obatan. Aku tidak tahu untuk apa. Aku langsung meminumnya dengan dosis yang berlebihan. Kemudian aku lari dan mengunci diri di dalam kamar. Dengan kondisi badan gemetaran, aku mengambil silet dan merobek urat nadiku berkali-kali. Setelahnya aku tidak sadar lagi dan ketika bangun sudah ada di rumah sakit ini." Isaknya semakin menjadi-jadi. Para pasien lansia memandang heran ke arah kami.

Aku memejamkan kedua mataku. Airmata yang meleleh kuusap dengan ujung jilbabku. Kulihat Asyila mulai tenang, lalu kutuntun dia untuk menceritakan keseluruhan kejadiannya. Dia berkata bahwa Suster sempat mengikat kedua kaki dan tangannya di ranjang. Untuk mengantisipasi agar Asyila tidak melakukan hal gila lagi. Suster curiga karena Asyila selalu berlama-lama di dalam toilet. Mereka menemukan sebuah tali yang mereka kira akan digunakan Asyila untuk bunuh diri lagi. Mungkin itu yang membuat penerjemahnya mencetus bahwa otaknya sakit. "Yang sakit itu bukan tubuhnya, tapi otaknya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun