Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Cinta Dari Surga (Bab.3 , Part.2)

3 Desember 2019   19:33 Diperbarui: 3 Desember 2019   19:42 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Malam itu?" Ammar mencerna ucapan Rasyid. Seketika ia sudah menebak siapa lelaki itu yang sebenarnya. Wajah Ammar yang teduh berubah emosi, memerah darah. Ingatan pada malam di mana ia menemukan Mbah Okim yang nyaris mati kedinginan kembali menyeruak di otaknya. Ingatan di mana tubuh renta itu menggigil sembari mengeluarkan airmata kembali hadir di pikirannya. Dan ingatan bahwa Mbah Okim pernah bercerita akan anak yang sudah membuangnya langsung tertangkap oleh kesadarannya. Kedua tangan Ammar mengepal kuat. Wajahnya semakin geram melirik Rasyid. Bibirnya mengatup rapat. Dan tak lama kemudian sebuah bogeman tangan mendarat di wajah Rasyid. 'buuuggh'

Rasyid tersungkur di atas aspal. Keningnya membentur kerasnya trotoar. Dan hal yang mengejutkan kepalanya berada tepat di bawah kaki Mbah Okim. Orangtua kandung yang sudah diabaikannya, dihinanya, diinjak harga dirinya, bahkan dibuangnya di pinggir jalan bak seonggok sampah yang tak bernilai.

"Hari ini kening Anda yang terluka, besok jika Anda masih berani menyakiti kakek saya. Maka leher Anda yang akan saya gantung di hadapan beliau. Manusia seperti Anda seharusnya mati mengenaskan melebihi kematian para bandar narkoba yang ditembak hidup-hidup. Kematian orang serendah Anda seharusnya di tonton oleh seluruh mata di dunia agar tidak ada lagi manusia durhaka yang tega membuang orangtuanya begitu saja."

Ammar memalingkan wajahnya, lalu membantu Mbah Okim untuk duduk di warung Mbak Mun. Rasyid yang berwajah tembok merasa terhina dengan bogeman Ammar. Tanpa sepengetahuan Ammar, ia bangkit dan menghajar punggung Ammar dari belakang. Mbak Mun berteriak histeris. Sedangkan mbah Okim sudah tak sadarkan diri. Ammar terjatuh begitu saja, namun ia berhasil bangkit sembari menahan rasa sakit di punggungnya. Wajahnya meringis, namun kedua matanya berkobar-kobar menatap Rasyid. Dalam keadaan yang memanas, perkelahian di antara mereka pun dimulai. Ammar mengeluarkan jurus bela diri yang selama ini ia tekuni, hingga Rasyid yang bertubuh lebih besar darinya dibuat kewalahan oleh Ammar. Kedua mulut mereka sudah sama-sama mengeluarkan darah. Namun emosi keduanya belum juga meredam. Rossi datang dan memanggil nama Ammar dari kejauhan. Ammar menoleh reflek. Situasi itu, digunakan Rasyid untuk memukul leher Ammar dengan kuat. Dan,..

Bugggghhh... Ammar roboh bersama tulang lehernya yang terasa patah. Rossi berteriak histeris meminta tolong dengan suara sekeras mungkin. Ia menghampiri Ammar yang merintih kesakitan dan tak berdaya di atas pedestrian .  Melihat beberapa orang berlarian ke arah mereka, Rasyid kabur dengan mobilnya. Sementara Ammar dibawa ke rumah Mbak Mun oleh beberapa orang yang menolongnya. Mbak Mun, yang baru saja  merebahkan tubuh Mbah Okim semakin terkejut melihat kondisi Ammar yang babak belur.

"Masya Allah, Mas Ammar, kenapa bisa separah ini?"

"Lelaki itu menghajar leher Ammar dengan kuat, Mbak. Sepertinya kita harus membawa Ammar ke rumah sakit. Aku khawatir sekali, Mbak." Rossi panik.

Mbak Mun mengangguk. Ia meminta tolong kepada beberapa orang yang telah menolong Ammar untuk merawat Mbah Okim. Beberapa orang lagi menghentikan mobil yang lewat di depan untuk membawa Ammar ke rumah sakit. Perkelahian mengerikan itu membuat semua orang panik, dan limbung .

Di depan kamar rumah sakit di mana Ammar dirawat, Mbak Mun dan Rossi tampak gelisah satu sama lain. Terutama Rossi, yang nyaris menitikkan airmata di depan Mbak Mun.

"Maaf, kalau boleh saya tahu Anda siapa ya? Sepertinya Anda sangat dekat dengan Ammar?" tanya Mbak Mun, sopan.

"Ya, kami berteman cukup lama. Kami juga mengajar di sekolah yang sama. Ammar mengajar di kelas VIII sebagai guru agama. Sedangkan saya seorang guru Pkn di kelas VII. Nama saya Rossi."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun