Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Cinta Dari Surga (Bab.3 , Part. 1)

2 Desember 2019   23:51 Diperbarui: 3 Desember 2019   00:07 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

3. PERKELAHIAN MENGERIKAN

Mendung telah pergi. Burung-burung bernyanyi menyambut pagi. Cahaya matahari mulai menampakkan pesona kehangatannya. Hari ini adalah hari libur. Jl. Tambak Dalam 1, Sambirejo tampak sepi dari lalu lalang kendaraan. Hanya beberapa pedagang kaki lima yang terlihat berhenti di depan Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Semarang untuk mengais rezeki dari siswa-siswa yang mengadakan pertemuan di akhir weekend mereka. Dari jauh tampak kakek berbadan bungkuk dan berbibir sumbing berjalan tergopoh-gopoh ke warung Mbak Mun. Warung itu baru saja dibuka. Dan wanita berambut ikal panjang itu masih sibuk menyiapkan dagangannya. Mbah Okim duduk di depannya. Napasnya ngos-ngosan. Wajahnya terlihat merah dengan mata agak sayu. Beliau tampak kurang sehat. Dan kedatangannya ke warung tersebut, tentu saja ingin menyeruput segelas kopi panas untuk menghangatkan tubuhnya. Musim penghujan sangat rentan terkena penyakit. Apalagi tubuh beliau yang telah renta.

"Mun, masih sibuk ya?" sapa beliau, lembut.

"Iya, 'kan baru buka, Mbah."

"Mun, saya ingin bicara sesuatu denganmu. Kira-kira Ammar marah tidak ya, dengan ucapan kita kemarin itu? Saya kok merasa bersalah karena sudah membuat dia sedih."

Mbak Mun menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Mbah Okim lekat-lekat. "Sudah pasti dia sedih, Mbah. Tapi kalau marah, saya rasa tidak mungkin. Ammar itu kan lelaki yang lemah lembut walau dia terkesan dingin setelah kematian Alea. Tapi hatinya tetap baik terhadap siapa pun. Dan biar sajalah Mbah, ucapan kita kemarin itu kita jadikan suntikan untuk dia. Agar dia mau membuka hatinya untuk perempuan lain. Karena jalan hidupnya masih sangat panjang sekali. Benar kan, Mbah?"

"Ya, kau benar, Mun. Dia tidak bisa terus hidup dalam kenangan Alea. Alea sudah tenang di sisi-Nya. Namun, untuk mencari pengganti Alea pun bukanlah hal yang mudah bagi Ammar. Apa kau tahu? Di sekolah ada seorang guru yang sangat mencintai Ammar selama ini. Bahkan sebelum Ammar bertemu dengan Neng Alea."

"Ah, yang benar, Mbah? Darimana Mbah tau? Dan siapa guru itu?"

"Namanya Rossi. Sudah banyak yang tahu akan hal itu. Bahkan saya sering melihat surat cinta yang dibuat Rossi untuk Ammar dalam dua tahun terakhir ini. Kamu jangan bilang siapa-siapa ya, Mun. Sebenarnya selama ini saya cukup dekat dengan Neng Rossi. Dan saya sudah menceritakan tentang pernikahan Ammar dan Alea kepada Rossi beberapa hari yang lalu. Saya tidak tega, melihat gadis itu menangis di depan saya karena selama ini dia merasa diabaikan cintanya oleh Ammar. Hati saya terenyuh, karena Rossi gadis yang sangat saleha. Tak kalah baiknya dari Alea. Jadi saya ceritakan semuanya sama dia agar dia mengerti keadaan Ammar yang sebenarnya."

Mbak Mun cukup kaget mendengar penuturan beliau. Ia nampak berpikir. Namun, tak membalas sepatah kata pun. Ia bingung dengan kondisi Ammar sekarang ini. Di satu sisi ia sangat bangga dengan kebesaran dan kesetiaan cinta Ammar untuk Alea. Namun, di sisi lain ia juga prihatin karena Ammar jadi pendiam semenjak kematian istri tercintanya itu. Hal yang membuat Mbak Mun merasa iba, Ammar kini tak memiliki sanak keluarga di Semarang selain Pak Subhan, ayah Alea yang kini masih depresi atas kematian putri semata wayangnya. Satu-satunya orang yang ia hormati kini telah tiada, orang yang selalu ia jadikan sandaran dalam airmata suka dan dukanya sejak remaja hingga ia sedewasa ini. Kematian Nenek Maryam membuat Ammar semakin terpuruk. Belum lagi sikap Pak Subhan yang belum menerima ketiadaan putrinya. Seperti kata Mbah Okim, di setiap sujud malam itulah, Ammar tumpahkan semua beban dari atas pundaknya. Menangis sepuas hati untuk meminta kekuatan jiwa dan raganya kepada Allah Swt.

Pukul 09.00 Mbah Okim masih duduk di warung itu. Jalanan masih sepi, anak-anak yang tadi bergerumul di depan gerbang telah masuk ke area sekolah untuk melaksanakan kegiatan masing-masing. Para pedagang kaki lima pun mulai pergi satu-persatu untuk mencari celah rezeki ke sekolah yang lain. Begitulah suasana hari minggu. Datangnya rezeki tak dapat mereka perkirakan. Tak seperti hari-hari biasa. Di mana mereka bisa standby dari pagi hingga sore hari. Walau begitu, tubuh-tubuh kokoh nan giat bekerja itu tetap rajin mengais rezeki. Pantang menyerah apalagi menyusahkan kerabatnya.

Dari jauh seorang laki-laki berkumis tipis memakai pakaian kantor mendekat ke warung Mbak Mun. Lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu menarik tangan Mbah Okim dengan kasar. Sontak, hal itu membuat beliau terkejut bukan kepalang.

"Rasyid?" gumam beliau meringis, kesakitan.

"Masih hidup kau rupanya, kakek tua? Aku pikir kau sudah mati kedinginan malam itu."

"Aku sudah mati, Rasyid. Aku sudah mati sejak kau membuangku malam itu. Untuk apa kau datang menemuiku anak durhaka?" ujar Mbah Okim dengan suara tak jelas karena bibirnya yang sumbing.

"Diam kau tua bangka! Mulut kotormu tidak pantas mengucapkan namaku sedetik pun. Aku kemari untuk memastikan akan ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa kau masih hidup. Siapa yang sudah menyelamatkanmu malam itu?"

"Jika kau jijik melihatku lalu untuk apa kau datangi aku, Rasyid? Pergilah sejauh yang kau mau. Nikmatilah hartaku yang sudah kau curi bersama istrimu. Aku ikhlas, Rasyid. Aku ridho, asalkan kau pergi jauh dari hidupku saat ini. Jangan buat aku menjadi orangtua yang keji karena melihatmu."

"Jangan banyak bicara, Rokhim. Katakan padaku siapa yang menolongmu hingga kau masih hidup hingga saat ini, hahh?"

Rasyid mencengkeram kaos Mbah Okim dengan geram. Lelaki berbadan bungkuk dan berbibir sumbing itu menatap lekat wajah putranya yang durhaka. Tatapannya tak menampakkan kerinduan sedikit pun. Kakek Rokhim, atau Mbah Okim justru terlihat muak sekali terhadap putra semata wayangnya tersebut.

"Dia adalah manusia yang benar-benar berhati malaikat. Tidak seperti kau, hatimu lebih keji dari iblis sekali pun. Aku sudah menyerahkan semua hartaku padamu, apalagi yang kau inginkan dariku? Apa dengan keadaanku seperti ini, kau masih saja takut aku akan mengambil hak-hakku darimu? Tidak Rasyid, aku tidak menginginkannya sedikit pun. Hartaku yang saat ini telah kau curi, aku meyakini suatu saat akan jadi bumerang untuk dirimu sendiri. Camkan itu, Rasyid!" jawab beliau dengan suara mendengung.

"Haaahhhh.." lelaki berkumis tipis itu mendorong Mbah Okim hingga terjatuh ke bawah. Mbak Mun, yang baru kembali dari rumahnya sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia ingin berteriak namun tak ada orang di sekitar warungnya. Tanpa pikir panjang, ia pun berlari ke rumah Ammar untuk memberitahu akan keselamatan Mbah Okim yang terancam. Ammar terkejut bukan main. Lelaki saleh nan tampan itu bergegas menuju warung Mbak Mun dan mendekat kearah mereka.

"Berhentiii..!" teriak Ammar.

Mbah Okim sudah tergeletak tak berdaya di pinggir jalan. Sementara Rasyid menatap geram ke arah Ammar.

"Siapa kau? Jangan ikut campur urusanku." Ketusnya kasar.

"Apa salah beliau hingga Anda tega menyakitinya? Apa tak ada rasa hormat sedikit saja kepada orang yang lebih tua dari Anda?"

"Berani sekali kau menasihatiku. Apa kau yang sudah menolong dan memberi makan kakek tua ini sejak malam itu?"

To be continue....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun