Mohon tunggu...
Iin Andini
Iin Andini Mohon Tunggu... Guru - Pribadi

Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Itu

5 Mei 2021   10:05 Diperbarui: 18 November 2021   07:13 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perempuan, Sumber: https://amanat.id/mengembalikan-makna-kata-perempuan/

Aku masih menyusui anakku yang berumur 6 bulan. Aku bolak-balik keluar masuk kamar sambil menidurkan anakku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 22.00. Sesekali kutengok pintu di ruang tamu berharap suamiku pulang. Ke mana kamu Mas? Mengapa jam segini belum pulang? Aku tidak bisa tidur. Anakku juga tidak bisa tidur. Apakah dia tahu apa yang sedang aku rasakan?

Duh, Mas, kamu ke mana? Sesekali aku mengambil ponselku di meja, tidak ada pesan dan tidak ada panggilan. Pesan yang kukirimkan melalui WhatsApp tadi, masih centang satu. Aku mencoba menelepon, tetapi tidak aktif. Jangan-jangan dia bersama perempuan lain. Jangan-jangan terjadi kecelakaan. Duh, kamu di mana Mas? Jam segini belum pulang tanpa kabar. 

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.00. Akhirnya, anakku tertidur juga. Aku langsung mengambil ponsel kembali dan mencoba menelepon suamiku, tetapi masih tidak aktif.  Aku semakin gelisah. Ya, Tuhan, ada apa dengan suamiku? Semoga tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.

Kutatap anakku yang tertidur pulas. Bibir mungilnya seolah tersenyum kepadaku. Perasaan gelisahku mulai berkurang. Hatiku begitu terhibur melihatnya. Anakku adalah sumber kekuatanku. Aku pun mulai membaringkan tubuhku di sampingnya. Aku terus memilikirkan suamiku hingga aku memutar memoriku ketika kami baru menikah.

"Aku tidak mencintaimu. Aku menikahimu karena orang tuaku," kata suamiku pada awal-awal pernikahan kami. Bahkan, sampai sekarang aku masih merasa dia belum mencintaiku. Namun, bagaimana bisa kami memiliki anak tanpa cinta. Di satu sisi kadang kata-kata suamiku menyadarkanku bahwa kami membangun rumah tangga ini karena keinginan orang tua kami. Sampai kapan alasan ini akan berakhir? Bagaimana kalau suatu saat anakku tahu jika dia lahir ke dunia tanpa dasar cinta kedua orang tuanya?

Awal kami dinyatakan sebagai suami istri membuatku sakit. Di malam pertama kami, dia langsung meninggalkanku. Dia lebih memilih pergi bersama teman-temannya dibandingkan menikmati malam pertama kami. Aku menikmati malam pertamaku dengan tangis. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Sampai akhirnya, aku mulai tidak kuat. Aku ingin lari dari rumah tangga kami. Aku pun mencoba menceritakan masalahku kepada ibuku yang seharusnya tidak aku bagi penderitaan. Ibuku mendengarnya tanpa marah. Dia hanya tersenyum dan menasihatiku untuk bersabar dan berusaha membangun cinta itu.

"Kamu yang sabar. Percaya saja, suatu saat Tony akan mencintaimu. Cinta itu jika dipupuk terus-menerus, akan menghasilkan buah cinta," kata ibuku sambil menggenggam tanganku.

Aku hanya terdiam dan merenungi kata-kata ibuku. Kata-kata ibuku selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Ya, apakah aku harus menyerah pada keadaanku sekarang? Aku pun terus berdoa dan berusaha mencintai suamiku dengan tulus. Ternyata, semuanya terjawab. Sampai akhirnya, dia pelan-pelan menerimaku.

"Tok, tok, tok!"

Aku mendengar ketukan di pintu. Itu pasti suamiku sudah pulang. Aku langsung berlari menuju ruang depan untuk membuka pintu. Alangkah kagetnya diriku ketika membuka pintu dan melihat suamiku berdiri bersama seorang perempuan di tengah malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun