Mohon tunggu...
Iik Nurulpaik
Iik Nurulpaik Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Akademisi, Pemerhati Pembangunan Bangsa

Edukasi jalan literasi peradaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Problematika Kepemimpinan Perempuan

5 Desember 2022   15:08 Diperbarui: 5 Desember 2022   15:15 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam obrolan dengan seorang kawan tercetus satu pernyataan “tugas perempuan mengurus rumah tangga sedangkan pria tugasnya mencari uang”, seorang kawan menimpali agak sinis “pria tugasnya cari duit wanita kerjanya ngabisin duit”. Bapak working, ibu shoping.

Walaupun terlihat guyon tapi pernyataan ini mengajak kita untuk merenung agak mendalam. Ada pria yang senang dengan wanita “rumahan”, karena pada dasarnya, kata seorang kawan, pria itu feodal, ingin “dirajakan” oleh istrinya. Sebaliknya ada perempuan yang tidak mau jadi wanita rumahan, wanita butuh aktualisasi diri di luar rumah dalam banyak hal.

Ada pula ibu-ibu yang menolak untuk “dirumahkan”. Ia ingin seperti pria, berkarir, bekerja cari duit karena pendapatan suami tidak mencukupi, kelitnya. Ada pula suami yang menuntut istrinya harus bekerja untuk menopang perekonomian keluarga karena tidak cukup.

Demikian pula apresiasi umum yang berkembang dewasa ini terhadap istilah “wanita” dan “perempuan” sangat berbeda, perempuan bernilai rasa mereka yang menjadi orang “rumahan” sedangkan wanita adalah mereka yang menuntut peran-peran yang lebih aktif menjadi wanita karir, dari sekedar penghuni sangkar emas.

Dalam kehidupan primitif peran pria dan perempuan telah lama dilukiskan bahwa tugas kaum pria adalah berburu, mencari bahan makanan sementara kaum perempuan memasak di rumah, melahirkan dan menjaga anak. Entah mengapa demikian, apa karena pria lebih perkasa, lebih kuat, otot kawat balung wesi sehingga lebih dominan, sementara wanita lemah tak berdaya.

Reflika itulah yang  telah melahirkan stigmatisasi bahwa secara psikologis, sosiologis, kultural, pria mendominasi perempuan, dan akhirnya menjadi subordinasi pria.

Posisi perempuan sulit melepaskan diri dari stigmatisasi yang berkembang selama ini. Pertama, bahwa karakteristik perempuan identik dengan ladang, sawah, tempat “mencangkul” dan “menabur benih” dan prialah sebagai pemilik dan penggarap ladang itu, dan ini merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan.

Kedua, ketika melakukan mobilitas di ruang publik, secara seksual perempuan selalu menjadi pihak yang lemah dan terancam. Bahkan, orang tua lebih mengkhawatirkan anak perempuannya kalau tidak pulang ke rumah ketimbang anak laki-lakinya.

Ketiga, dalam perspektif kultural perempuan sejak lahir hingga menjadi ibu rumah tangga lebih banyak dibebani oleh  urusan-urusan “dapur” memasak, mencuci, menata rumah, dan lainnya. Inilah yang kemudian melahirkan perilaku “pingitan” terhadap perempuan. Dalam pola asuh di keluarga biasanya anak perempuan identik dengan minstream keperempuanan yang dikembangkan ibunya. Pepatah kolot baheula (orang tua) dalam tradisi sunda, lekat sekali petuah ibu pada anak atau nenek kepada cucu perempuannya, bila ingin dicintai suami maka perhatikan dan lakukan tugas perempuan dengan baik dalam memenuhi tiga kebutuhan dasar suami, yakni mulutnya, perutnya, bawah perutnya.

Keempat, praksis ideologi pembangunan cenderung bersifat maskulin dan telah mendorong lahirnya sistem perekonomian dan prilaku sosiologis kehidupan yang menempatkan perempuan nyaris selalu berada pada posisi subordinasi pria. Organisasi perempuan seperti dharma wanita seakan pelengkap penderita yang tidak jelas visi dan misinya bagi pemberdayaan perempuan. Kegiatannya menghabiskan anggaran untuk jalan-jalan ke Bali, Pangandaran, Singapura, dan lainnya, atau untuk kegiatan para istri pejabat.

Gerakan emansipasi juga telah salah kaprah, misalnya keterwakilan perempuan di parlemen semata-mata “pemberian” kaum pria karena meminta jatah bukan diperoleh secara alamiah melalui proses kompetisi yang sehat, alih-alih artis perempuan jadi politisi di legislatif. Bagi partai tujuan mereka memasang artis sinetron ini jelas hanya untuk mendongkrak raihan suara melalui popularitas dan kecantikan tubuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun