Meski sudah pernah diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK), kini sebanyak 12 tokoh publik bersiap menggugat kembali ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT).
Beberapa orang yang menjadi penggugat itu diantaranya, Rocky Gerung, Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Chatib Basri, dan Faisal Basri, serta beberapa orang lainnya.
Mereka hendak melakukan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 222 tentang pemilihan umum.
Diduga kuat 'kengototan' itu berkaitan dengan kepentingan politik para penggugat untuk mendukung calon presiden tertentu.
Bila kita mengerti konteks lahirnya aturan tersebut pasti akan paham mengapa perlu adanya presidential threshold. Yakni untuk menciptakan Pemilu Presiden yang efektif, maka jumlah pesertanya harus diseleksi dengan baik melalui aturan ambang batas Presiden.
Aturan tersebut sebenarnya telah diterapkan sejak Pemilu lalu. PT dianggap penting untuk menjaga Calon Presiden memiliki representasi dukungan riil dari masyarakat.
Selain itu, adanya PT juga bisa membantu presiden terpilih untuk mengeksekusi kebijakan. Karena dengan adanya PT presiden juga memiliki kekuatan di parlemen.
Jadi agak lucu bila para akademisi dan aktivis itu berusaha menggugat aturan PT. Apalagi menggunakan dalih kebebasan memilih dan pengekangan calon presiden.
Akan lebih fair bila mereka mengakui saja bahwa dengan aturan tersebut jagoan mereka sangat sulit untuk maju presiden. Dengan begitu akan semakin gamblang kepentingan politiknya.
Apalagi kita tahu bahwa beberapa orang diantara penggugat itu kerap disebut sebagai penyebar provokasi, seperti Rocky Gerung. Dia adalah tokoh yang sering menyampaikan pendapat untuk mengadu domba rakyat, serta hemar mendungu-dungukan orang lain.
Namun, gugatan tersebut bisa jadi akan ditolak kembali mengingat sebelumnya sudah ada gugatan pada pasal dan UU yang sama.